Indonesia menempati posis ketiga dalam produksi akuakultur dunia namun praktik budidaya yang ada seringkali tidak berkelanjutan. Praktik penangkapan ikan yang berlebihan, termasuk ikan-ikan muda yang belum mencapai usia reproduksi, telah mengancam keberlangsungan hidup spesies laut dan mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. Ketergantungan industri akuakultur pada tepung ikan dan minyak ikan sebagai bahan baku pakan juga menimbulkan risiko kontaminasi oleh polutan seperti mikroplastik dan logam berat, sehingga berpotensi mencemari produk perikanan. Fluktuasi harga bahan baku impor serta limbah organik yang dihasilkan dari kegiatan budidaya turut memperparah masalah lingkungan dan ekonomi dalam sektor akuakultur (Syamsuddin, 2022).
Pembuangan limbah dari kegiatan budidaya, seperti sisa pakan, kotoran ikan, dan penggunaan bahan kimia seperti antibiotik dan pestisda. Lahan mangrove yang diubah menjadi tambak juga menjadi masalah serius, sebab ketersediaan air, garis pantai, dan tempat tinggal biota laut bergantung pada mangrove. Selain itu, sistem budidaya terbuka seperti keramba jaring apung juga menimbulkan masalah seperti pencemaran, penyebaran penyakit, dan interaksi negatif dengan ekosistem alami. Semua faktor ini tidak hanya mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan secara keseluruhan (Adi dkk., 2024).
Ekonomi biru merupakan pendekatan pembangunan yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Konsep yang menggabungkan perekonomian, sosial, dan lingkungan ke dalam tata kelola hasil yang berasal dari laut. Potensi ekonomi biru Indonesia melalui kontribusi sektor perikanan menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen perikanan terbesar di dunia, menyumbang 8,2% dari total produksi global (KKP, 2023). Kestabilan perikanan Indonesia terlihat dengan adanya peningkatan besarnya 30% antara tahun 2003 dan 2014, serta rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 1,01% antara tahun 2015 hingga 2020 (FAO, 2023). Hal ini kontras dengan tren penurunan pertumbuhan produksi perikanan global yang terjadi sejak awal tahun 2000-an (FAO, 2016). Hasil yang tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2021 atau setara dengan 2,77% dari total PDB berasal dari perikanan. Lebih dari 3,25 juta rumah tangga di Indonesia juga secara langsung menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan (KKP, 2022). Dengan meningkatnya permintaan global terhadap produk perikanan, potensi kontribusi sektor ini terhadap ekonomi nasional di masa depan masih sangat besar.
Akuakultur, sebagai salah satu sektor utama dalam ekonomi biru, memiliki peran krusial dalam mewujudkan tujuan tersebut. Melalui penerapan teknologi modern dan praktik budidaya yang ramah lingkungan, akuakultur berpotensi meningkatkan produksi pangan laut, mengurangi tekanan pada sumber daya perikanan tangkap, memberikan kesempatan kerja, serta membantu tumbuhnya ekonomi nasional melalui ekspor produk perikanan. Dengan demikian, akuakultur berkelanjutan dapat menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi biru di Indonesia (Rahim, Hastuti, & Malik, 2024).
Bentuk akuakultur berkelanjutan dan ekonomi biru di Indonesia nampak melalui pembangunan dua belas Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) memberikan penerimaan hasil yang besar terhadap PDB nasional dan meningkatkan produksi perikanan secara keseluruhan (Khoiriyah, 2024). Sektor perikanan telah menjadi sumber pendapatan utama bagi jutaan rumah tangga di Indonesia, dengan produk utama seperti ikan kembung, layang, cakalang, cumi-cumi, tuna, rumput laut, nila, lele, udang, dan bandeng (Alifa & Zahidi, 2024). Adanya infrastruktur modern di SKPT seperti dermaga dan fasilitas pengolahan telah meningkatkan efisiensi dan kualitas produk perikanan. Namun demikian, perlu terus dilakukan upaya untuk mengoptimalkan potensi sektor perikanan melalui penerapan teknologi ramah lingkungan, pengembangan sumber daya manusia, serta penguatan kebijakan yang mendukung keberlanjutan (Bakti & Hakim, 2024).
IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture) menjanjikan dalam meningkatkan produktivitas perikanan dan ekonomi biru. Limbah dari budidaya satu spesies dapat dimanfaatkan oleh spesies lain dalam sistem ini, menciptakan siklus nutrisi yang efisien dan berkelanjutan. Misalnya, limbah dari budidaya udang dapat menjadi sumber makanan bagi rumput laut, sehingga mengurangi dampak lingkungan negatif. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa IMTA dapat meningkatkan produktivitas hingga tiga hingga empat kali lipat dibandingkan budidaya monokultur, sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan (Royan, 2020). Keunggulan IMTA lainnya adalah peningkatan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan tingkat kelangsungan hidup komoditas budidaya. Oleh karena itu, IMTA tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan laut (Verdian dkk., 2020).
Silvofishery atau wanamina merupakan sistem budidaya perikanan yang mengintegrasikan hutan mangrove dan tambak sebagai solusi berkelanjutan untuk memanfaatkan sumber daya mangrove tanpa merusak ekosistemnya. Dengan mengalokasikan sebagian lahan untuk vegetasi mangrove, silvofishery tidak hanya menghasilkan produk perikanan seperti udang dan bandeng, tetapi juga menciptakan habitat yang mendukung pertumbuhan kepiting bakau dan kerang-kerangan. Beberapa model silvofishery yang umum adalah model tambak parit, komplangan, dan jalur, masing-masing memiliki karakteristik penempatan mangrove dan kolam budidaya yang berbeda. Keunggulan utama silvofishery adalah terjaganya air berkualitas, mencegah erosi, dan tersedianya tempat tinggal berbagai jenis biota laut (Musa dkk., 2020). Selain itu, sistem ini juga menjadikan tambak terjaga produktivitasnya dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir (Marpaung dkk., 2022).
Mengingat potensi besar sektor perikanan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi biru, Indonesia perlu secara serius mengadopsi praktik akuakultur yang berkelanjutan. IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture) dan silvofishery adalah dua contoh konkret dari sistem budidaya yang dapat memadukan produktivitas ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Dengan mengadopsi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan produksi pangan laut, tetapi juga menjaga kesehatan ekosistem laut dan keanekaragaman hayati.
Referensi
Adi, C. P., Panjaitan, P. S., Soeprijadi, L., Hidayah, E., Wulan, D. R., & Prajayanti, V. T. F. (2024). Strategi Manajemen Kesehatan Dan Parameter Kualitas Air Dalam Budidaya Ikan Nila. Penerbit P4I.
Alifa, N. N., Zahidi, M. S., & IP, S. (2024). Pengembangan ekonomi biru sebagai strategi Indonesia menuju ekonomi maju. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 38(1), 48-65.