Oleh : Diana Priska Damayanti
(Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)
Setelah banyaknya masalah krusial yang masuk dalam pemberitaan, kini Indonesia telah memasuki situasi baru dalam penanganan Covid-19, dimana proses vaksin Covid-19 telah memiliki titik terang. Penyediaan vaksin perlu dilakukan segera sebagai langkah preventif pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 yang sudah kurang lebih 1 tahun terakhir sejak tanggal 12 Maret 2020 dinyatakan sebagai pandemi oleh World Health Organitation (WHO) karena penyebaran virus yang sudah semakin meluas dari lintas wilayah hingga lintas negara sehingga mengacu pada jumlah kasus yang muncul di seluruh dunia dengan peningkatan jumlah kasus yang bisa berujung pada kematian.
Virus penyebab Covid-19 dinamakan Sars-CoV-2. Covid-19 sendiri adalah sebutan yang digunakan dari nama ilmiah Coronavirus Disease 2019, dimana virus ini merupakan penyakit jenis baru dalam keluarga besar virus yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada manusia, namun virus ini dapat menular ke manusia. Baik pada lansia, orang tua maupun anak-anak. Setidaknya, ada dua jenis Coronavirus yang dapat menimbulkan gejala berat antara lain, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS).Â
Pada kasus yang berat virus ini dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal bahkan dapat berujung pada kematian yang sebelumnya ditandai dengan gejala-gejala ringan, menimbulkan infeksi gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, sesak napas dengan masa inkubasi rata-rata 5 sampai 6 hari dan masa inkubasi terpanjang selama 14 hari. Â Hingga pada saat ini tanggal 1 Juli 2021, telah terjadi sebanyak 58.995 kasus kematian yang terjadi di Indonesia karena Covid-19. (covid19.go.id).
Dari jumlah kasus kematian tersebut, dapat terlihat bahwa virus ini telah berhasil memaksa setiap orang untuk menahan diri melakukan aktivitas sosial berbeda dengan hari-hari sebelum adanya Covid-19. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, yang berisi bahwa kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Maka, dapat dipastikan bahwa pemerintah berhubungan langsung dengan pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dengan adanya perlindungan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berbagai upaya kebijakan telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk menangani Covid-19, dimulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Work From Home (WFH), Social Distancing, meniadakan sholat Jumat atau ibadah lainnya, dan juga pelarangan warga ke luar dari kota yang sudah berzona merah (Kebijakan isolasi diri dalam kategori ringan dan lockdown dalam kategori berat).
Mengingat adanya pelonjakan tinggi kasus terpapar Covid-19 yang baru-baru ini terjadi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan pelaksanaan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro) di lapangan, dimana kebijakan ini dibuat untuk aktivitas sosial yang sedemikian lebih ketat daripada kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kebijakan ini membuktikan bahwa, meski kerangka protokol kesehatan sebagai upaya pengamanan diri dan orang lain seperti menjaga jarak, mengenakan masker, mencuci tangan dan sebagainya terus dikampanyekan, ternyata upaya tersebut belum menjadi solusi yang paling baik hingga aktivitas sosial secara bebas dapat kembali dilakukan.
Adanya realitas yang terjadi, tentu saja pandemi Covid-19 telah membawa kepanikan, karena situasi ini kian merugikan tidak hanya pada sektor kesehatan saja tetapi juga sektor perekonomian. Pandemi Covid-19 memberi dampak yang hebat dan berkepanjangan pada aktivitas ekonomi, ketenagakerjaan, dan perdagangan (Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), 2020). Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 ternyata memiliki efek yang berdampak langsung pada sektor-sektor swasta perusahaan baik usaha besar maupun kecil atau Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang cukup signifikan. Terlihat ketika PSBB berlaku, banyak tenaga kerja yang terpaksa harus dirumahkan bahkan, keputusan ekstrim seperti pemutusan kontrak kerja sebelum berakhir, bekerja sebagian, pengurangan gaji, hingga memberlakukan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar) pun dilakukan karena terjadi penurunan permintaan. Padahal, dari pengertian pekerja sendiri yang mana pekerja merupakan tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja dengan imbalan berupa upah maupun bentuk lainnya. Sangat jelas bahwa prinsip no work no pay telah melanggar aturan. Belum lagi pekerja yang diberikan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, sejak April 2020 perusahaan telah melakukan PHK dan merumahkan pekerja sebanyak 1,2 juta juta orang. Berkaitan dengan Pasal 164 dan 165 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa suatu perusahaan berhak memutus hubungan kerja terhadap pekerja apabila suatu perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeur) atau karena perusahaan melakukan efisiensi. Namun, yang terjadi pada peristiwa di masa pandemi Covid-19 ini perusahaan sering kali memutuskan hubungan kerja perusahaan dengan alasan force majeure (keadaan memaksa) atau efisiensi, padahal perusahaan tersebut masih bisa memproduksi tanpa mengurangi pekerja. Hal ini kembali melanggar aturan, pasalnya hal penting yang menjadi syarat pemutusan hubungan kerja perusahaan kepada para pekerja antara lain, perusahaan terbilang mengalami penurunan atau kerugian selama 2 tahun. Sedangkan Pandemi Covid-19 saat ini belum mencapai atau terbilang 2 tahun.
Adanya pelanggaran-pelanggaran aturan ini dapat mengganggu rantai pasokan di seluruh Indonesia dan roda ekonomi yang tentu dapat berhenti sehingga mengakibatkan kurva kemiskinan menjadi naik.