Aku kangen papa. Hiks. Susah banget cari waktunya buat pacaran. Padahal udah nikah. Punya anak juga. Setidaknya bisa gitu main bareng bertiga sama anak kalau sore. Tapi selalu saja ada salah satu keluarga besar yang datang ke rumah. Ya, mereka nemenin anaknya main sama anakku. Seneng sih anakku ada temen mainnya. Tapi cukup gitu lho saat hari kerja saja. Hitung hitung nemenin aku nunggu suamiku pulang. Lah ini hari minggupun masih pada ga peka juga.
Kita ga keluar rumah bukan berarti kita luang dan bisa di ajak main. Tapi kita juga butuh privasi untuk kangen kangenan. Aku ke suami. Suami ke anak. Senin sampai sabtu jadwal kerja suamiku full dari pagi hingga petang.
Seharusnya quality time kami itu sabtu malam minggu. Nonton berdua setelah anak tidur. Tapi dua minggu ini sabtu malamku harus ku lalui dengan bersabar. Sabtu pertama suami harus keluar rumah sampai tengah malam. Otomatis dong dia pasti ngantuk pas sampai rumah. Sabtu kedua sahabat karibnya dengan istrinya datang. Cuma minjem koper tapi berakhir makan malam bersama. Lama? Oh jelas.
"sabar sayang. Kita lagi di uji sama Allah" kata suami menenangkan. Pas dia tahu aku nangis malam ini gara gara kangen sama dia.
"tapi masa kangen sampe di uji juga pah?" aku masih sesenggukan.
"ya namanya juga ujian nda. Sabar dong. Insya allah akan ada waktunya nanti". Aku cemberut "Kapan pah? Aku udah nunggu selama seminggu. Aku ga ada ganggu ganggu papa sama sekali sesuai janjiku. Kenapa sekarang aku harus sabar lagi"
Aku rasa si papa mesti bingung harus jawab gimana. Tapi aku juga ga tahu harus. Melampiaskan ke siapa lagi selain dia. Dia kan suamiku. Seorang suami yang notabene laki laki kalau istrinya ga cerita ga ada omongan ga bakalan tahu. Mau ngarepin peka? Sampai kapan?
"kalau ga Cia anaknya kakak kamu. Ya adik kamu. Kalau ga dua duanya pasti si tante kepo. Pada betah banget sih main di sini. Ga pada ngerti gitu kalau aku butuh privasi" aku lanjut merengek. Suamiku terus mengelus kepala dan tanganku. Berharap bahwa aku bisa memahami ucapannya.
"sayang papa. Jagain bundanya ya. Abang harus sayang sama bunda. Coba gimana elus kepala bundanya kasih tahu papa"
Hhh dia malah ngajak ngobrol anakku yang lagi nyusu. Aku diam nunggu responnya. Ga lama si papa ngerespon "sabar sayang. Kalau mereka pada datang ke rumah kita berarti mereka nyaman sama kita. Berkah dong rumah kita. Harusnya kita bersyukur"
Aku berpikir. Iya juga sih rumah jadi berkah kedatangan banyak tamu tiap hari. Tapi aku jadi kangen sama si papa. Tahu kan gimana rasanya kangen? Satu rumah tapi tiap hari pulang sore. Magrib sampai isya nginfoin pesan penting via grup whatsapp. Eh lepas isya dia udah ngorok. Kapan waktu buat aku pacarannya? Aku kan ga pernah pacaran kecuali pas nikah. Huhuhu.
"iya sih pah. Tapi tetep saja aku kangen" rengekku lagi. Si papa hanya bisa memelukku erat. Aku balik badan. Ku lihat tangan papa menutup wajahnya. Aku jadi ngerasa iba. Kasiyan juga si papa. Pasti dia kebingungan gimana lagi harus menghibur aku yang ratu drama ini. Akhirnya aku mencoba luluh. Aku lirik dia sampai dia ngerasa dan balik natap mataku. Dan yah itu selalu berhasil. Haha. Suamikupun tersenyum sangat manis. Seandainya aku ini karakter di film kartun pasti aku sudah pingsan gara gara meleleh. Hehe.
“papa tadi kaget ya pas masuk kamar lihat aku nutupin muka” aku mengalihkan pembicaraan.
“iyalah. Papa takut bunda kenapa kenapa”
“masa sih?”
“bener nda”
"Hmm" Aku bingung mau nerusin percakapan apalagi sama si papa. Kalau sudah ga ngambek itu biasanya aku ga tahu apa yang harus aku utarakan lagi. Paling enak memang ngambek. Jadi lebih banyak kosakata yang keluar dari mulut.
Ga lama ada yang buka pintu. Dan kalian tahu siapa itu? Ya, dia Cia anaknya kakak suamiku. Aku heran kok udah jam tujuh malam belum mau pulang juga sih.
“eh ada kakak Cia. Sini main sama dede Ril” kata suamiku menyapa ponakannya. Aku melirik dia. Seakan akan aku sedang bertanya ‘kok jadinya malah ngajak main sih. Bukannya nanya kenapa belum pulang?’. Akhirnya karena aku gemes aku celetukin aja bocah usia 1,5 tahun itu. Memang, dia pasti belum paham tapi mulutku gemes pengen nyindir dia
“kirain abis mandi bang Cia pulang. Eh rupanya masih di sini ya”. Ha ha ha. Tawaku dalam hati. Haduh aku kesel sealaihim gambreng. Kekananakan sih. Tapi wajarlah sudah nunggu seminggu eh dua minggu buat pacaran tapi selalu saja ada pengganggu datang jadi egois gini deh. Pahala nunggunya hilang. Aku bangun dan keluar kamar. Berharap anak ini cepat pulang.
Di hibur papa kayak tadi memang ngobatin rasa kangen sih sebenarnya. Ngambek kayak gini juga mancing dia jadi lebih sayang ke kita. Walau kata suami mah 'jangan ngambek mulu napa sayang'. Tapi aku selalu jawab 'nikmatnya ngambek papa jadi lebih perhatian sama aku'.
Aku lanjut bebenah. Beresin bekas mainan anakku yang berantakan. Pokoknya malam ini aku harus tidur jam sepuluh paling lambat. Aku harus tetap bugar. Seminggu ini aku selalu tidur larut. Paling cepat setengah dua belas.
Terlintas di benakku waktu hari ini yang akan segera berakhir. Dua jam lagi suamiku akan ngorok di tempat tidur. Lagi lagi aku ga dapat waktu buat pacaran sama dia. Dan lagi lagi hal ini bikin aku kesel. Pokoknya karena sudah nunggu lama lebih dari seminggu dan selalu ga dapat jadi bikin kesel kesel kesel pake banget. Aku banting saringan westafel cuci piring dengan keras. Tiba tiba suamiku datang dari arah kamar dan memelukku dari belakang mesra.
“saaaayang” suamiku datang tiba tiba sambil meluk aku yang lagi nyuci piring. Beruntung nyucinya udah kelar. Tinggal mangkok bekas anakku makan tadi sore saja masih ada di atas lemari buku belum ku ambil. Seandainya cucian piring tadi masih banyak aduh rasanya risih banget di peluk dari belakang.
Suamiku meletakkan handphonenya di sebelah kananku. Aku sengaja ga gubris pelukan dia. Soalnya tiba tiba aku keingetan waktu pacaran yang ga akan bisa aku dapatkan. Jadi kesel lagi deh. Akhirnya aku ambil handphonenya aku taruh di tangan kanannya yang sedang berada di pinggangku.
Suamiku menolak memegang handphonenya dan meletakkan kembali di tempat sebelumnya. Akupun mengambil lagi handphonenya dan kupaksa dia memegangnya.
“udah napa yank. Jangan ngambek mulu” suamiku merajuk. Hihi. Lucu sih. Tapi gapapa. Tetap pada gengsi mode on. Sekarang di depan westafel cuci piring dia merajuk dan merayuku lagi. Dia menarik pinggangku dan memelukku dari depan lalu mengecup keningku.
“maafin papa sayang. Sabar yah. Papa juga ga tahu harus gimana sama anaknya kakak”
Aku menghela nafas. Aku minta dia pergi dari hadapanku. Rasanya aku betul betul lagi ga pengen berhadapan dengan dia sekarang ini. Mumet pikiranku. Pusing.
“yaudah iya. Sabar. Sabar banget malah” kataku kesal. Aku melepaskan pelukannya lalu pergi menyusul anakku. Aku ga tahu sekarang apa yang dipikirkan suamiku.
Aku lihat anakku Ril sedang naik mobil mobilannya. Dia mengayunkan kakinya ke lantai agar mobil tersebut jalan. Tiba tiba rindu bermain bersama anakku datang. Ya, hari ini dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama sepupunya.
“anak bunda. Udah dong mainnya. Bundanya kangen. Main sama bunda aja ya” bujukku.
“engga!” dengan intonasi tinggi andalannya yang berarti ‘ga bunda. Aku masih mau main sama Cia’. Rasanya seperti tercabik. Sedih banget. Tapi aku juga paham sih saat ini prioritas utama dia adalah bersenang senang dengan Cia kakak sepupunya yang lebih muda dari Ril. Akupun memilih membiarkannya pergi dan duduk tak jauh darinya. Mencoba memperhatikannya agar dia sadar kalau aku merindukannya.
Aku buka handphoneku dan mulai menulis isi hati. Saat tengah asik menulis suamiku datang lagi. "nulis apa sih yank?" tanya si papa. Aku diam saja. "nulis tentang gebetan ya"
Oh my god. Ya ampun papa. Padahal aku sudah berjanji siang tadi buat ga ngingetin papa lagi tentang mantan gebetan. Eh tiba tiba papa malah ngingetin lagi. Ya ampun aku jadi ga enak.
"ih papa apaan sih. Enggaklah. Kamu masih cemburu ya. Ngaku hayo"
Suamiku tertawa. Senyumnya kayak yang berhasil buat aku terhibur. Akhirnya aku ikut tertawa bersama dia. Kemudian aku tunjukkan apa yang ku tulis.
"nulis ini lho pah. Tentang kita sekarang. Aku tuh kangen pah sama kamu. Kenapa sih anak kaka mu kok ya ga pulang pulang. Itu ayahnya udah datang kok ga langsung di ajak pulang malah di suruh main lagi"
Suamiku mengangkat bahu. Dia tidak tahu dan biasanya dia juga ga mau tahu. Tiba tiba Ril datang menemuiku dengan membawa plastik berisi siomay tanpa bumbu. Sepertinya dia mau aku menyuapinya. Lalu ku tinggalkan suamiku dan pergi mengikuti Ril keluar rumah.
"Ril, ini siomaynya masih mau lagi ga?" aku tanya Ril. Sejak tadi dia ku tawari makan siomay lagi malah diam saja. Sepertinya siomay kali ini tidak bakal habis. Ya sudah. Aku beranjak dari tempatku duduk dan kembali ke dalam rumah mengambil minum untuk Ril.
Setelah ku berikan minum ke Ril, aku dengar suara kakanya suamiku mengajak Cia untuk pulang. Dalam hatiku 'yes, cepatlah pulang. Aku sudah kangen main sama anak dan suamiku'. Lalu kulihat jam di handphone. Yah, udah jam delapan malam saja. Gimana ini waktunya tinggal sedikit lagi. Ril juga ga bisa begitu saja di buat tidur. Harus kubacakan cerita dulu dan kukeloni dia.
Aku menghela nafas. Nasib punya rumah sebelahan sama keluarga besar itu mau cari waktu untuk pacaran ga gampang. Padahal saat bangun rumah aku berharap ruang privasiku bersama suami jadi lebih besar tapi ternyata justru keberkahanlah yang melebar. Dimana kita memberikan kenyamanan pada orang lain maka orang lainpun akan merasa bahagia bersama kita.
"Yaah, si papa bener udah ngorok duluan" aku liat papa dengan mulutnya yang menganga lebar. Ku lirik Ril di sebelahku masih asik dengan botol susunya. Sepertinya aku harus bersabar sampai waktu merindu yang tak tahu kapan akan datang.
Merindukan rutinitas mingguan romantis bersama suami sepertinya harus dibuang jauh jauh supaya ga baperan dan ga sensitif. Terlebih supaya tidak tertanam kebencian di hati. Selamat istirahat suamiku sayang. Peluk cium juga buat anakku Ril. I love you. Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H