Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ibu, Keluarga dan Kebersamaan

23 Desember 2024   07:11 Diperbarui: 23 Desember 2024   07:11 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Enjoy coming home, because there will be time when you can't go home. The house will be there, but the people may not."

Kalimat di atas saya temukan ketika menonton Andre and His Olive Tree, film dokumenter di netflix. Kalimat yang dalam bagi saya yang umurnya hampir enam dasawarsa. Rasanya hati ini terasa dicubit-cubit.

Kenangan saya tentang rumah orang tua saya adalah rumah tua di Bandung yang saya tinggali selama 13 tahun. Setelah itu orang tua saya pindah ke Jakarta dan beberapa kali pindah rumah. Semua rumah itu kini sudah tidak ada, demikian juga penghuninya. Orang tua saya sudah berpulang dan semua saudara saya sudah menempati rumahnya sendiri-sendiri. Tidak ada lagi kata 'pulang' bagi saya.

Istilah pulang itu umum dipakai bagi mereka yang masih punya orang tua, baik yang masih lengkap atau tinggal ibu saja atau ayah saja. Anak-anak yang sudah dewasa, keluar dari rumah orang tua mereka untuk studi atau bekerja di luar kota, atau sudah berumah tangga dan tinggal di rumah sendiri.

Berkesempatan pulang ke ibu atau ayah, berkumpul bersama saudara-saudara, adalah nikmat yang tidak dimiliki atau dirasakan semua orang. Berapa banyak orang yang tidak lagi punya bapak ibu. Berapa banyak keluarga yang meskipun punya hubungan darah, tapi tidak memiliki kedekatan emosi dan hati. Pulang mudik di hari raya tidak jadi kebahagiaan tapi kewajiban belaka.

Saya masih ingat suasana hati ketika mertua masih ada. Pulang mudik adalah saat yang ditunggu. Hari-hari awal Ramadhan suami dan saya sudah mulai merencanakan, tahun itu hari raya di mana, di orang tua saya atau di orang tua suami. Karena orang tua kami berdua masih ada jadi kami harus adil merayakan hari raya secara bergantian. Tapi saya lebih banyak mengalah karena orang tua saya tinggal satu kota dengan kami, jadi bisa lebih sering bertemu. Kalau sudah diputuskan mudik ke rumah mertua, selanjutnya didiskusikan, naik apa, kapan, berapa hari. Berkumpul di rumah mertua selalu menyenangkan. Anak-anak bisa bertemu dan bergembira dengan sepupu-sepupunya yang berjumlah belasan, dan kami orang tuanya duduk di meja makan dengan para saudara dan ipar-ipar. Makanan sederhana seperti tempe goreng dan sambal bawang, atau nasi pecel, jika dimakan beramai-ramai dalam kehangatan kekeluargaan, sungguh nikmat sekali.

Setelah ibu mertua meninggal, suasana rumah berubah. Terasa ada yang hilang. Memang benar bahwa sosok seorang ibu itu adalah yang merekatkan keluarga. Meskipun bertahun-tahun ibu mertua bedridden karena stroke, tidak lagi bisa bicara secara jelas, tapi sosoknya di rumah itu tetap membuat anak-anaknya ayem dan rutin pulang. Sepeninggalnya anak-anak masih rajin pulang mengunjungi ayah mertua yang mulai pikun. Tapi seperti saya tulis di atas, suasana di rumah berbeda. Sampai hari ini, anak-anak masih rukun, tapi suasana rumah tidak seperti ketika mertua saya masih ada. 

Kini, kami anak-anaknya semuanya sudah menjadi eyang dengan banyak anak dan cucu-cucu yang mulai besar. Semoga legacy kerukunan dan kehangatan keluarga bisa ditiru dan diamalkan oleh generasi selanjutnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun