Tua di jalan. Istilah ini sudah umum dikenal, paling tidak buat mereka yang sehari-hari menderita akibat kemacetan di kota besar. Kemacetan yang hampir setiap hari saya alami. Seperti jutaan warga lain.Â
Dari sejak menikah dan bekerja, saya tidak pernah berpindah domisili dari salah satu kota satelitnya Jakarta yaitu Bekasi. Tempat tinggal saya mepet Jakarta, tapi KTP propinsi tetangga. Kalau main ke mall, saya lebih familier dengan lorong-lorong Plasa Senayan atau Kota Kasablanka dibanding Grand Galaxy Park atau Summarecon Bekasi.Â
Jaman masih bekerja, merasakan berangkat pagi-pagi, kalau bawa mobil sendiri sebelum jam 6 pagi sudah harus buru-buru keluar rumah supaya (dulu) bisa lewat jalur 3-in-1, atau kalau naik omprengan masih bisa berangkat jam 6.30. Sorenya begitu jam 5 teng langsung cus keluar kantor, cari teman sejurusan supaya bisa lewat 3-in-1. Sepanjang masa kerja, kantor saya semuanya berlokasi di Jl Jend. Sudirman, jadi dulu masuk kawasan 3-in-1, lalu sekarang kawasan ganjil genap.
Demikian selama berbelas  tahun.Â
Kalau dipikirkan, dirasakan, memang melelahkan. Sampai rumah sudah lewat magrib. Bulan puasa, lebih sering mendengarkan azan magrib di jalanan karena bulan puasa semua kantor memajukan jam pulang supaya karyawan muslimnya bisa berbuka di rumah, tapi kenyataannya hanya segelintir yang bisa menikmati. Sebagian besarnya masih harus berjuang di tengah kemacetan, atau masih menunggu angkutan di pinggir jalan. Jam pulang yang bersamaan mengakibatkan penumpukan manusia di jalanan. Akhirnya sebagian memilih untuk berbuka di kantor, lalu pulang setelah sholat magrib di kantor. Saya memilih pulang sesuai jam yang diijinkan perusahaan untuk menemani anak-anak buka puasa di rumah.
Dibandingkan dengan kondisi 10 tahun lalu, sekarang transportasi publik di Jakarta sudah jauh lebih baik dan terintegrasi, tapi kemacetan masih terjadi sepanjang hari di banyak titik. Â Sejumlah pengamat mengatakan bahwa jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalanan lebih banyak daripada total panjang jalanan. Masih banyak orang memilih naik kendaraan pribadi karena hitungan secara rupiah masih jauh lebih irit kalau bawa motor sendiri, misalnya. Atau karena akses dari tempat tinggal ke stasiun atau halte yang jauh.
"Jangan dipikirkan, jalani saja", itu kalimat andalan suami saya kalau saya mengeluh kena macet hingga lebih dari 2 jam di jalan. Tidak ada kecelakaan atau mobil mogok di bahu jalan saja jarak tempuh rumah-kantor memakan waktu 90 menit, apalagi kalau ada insiden. Level kejengkelan dan frustrasi rasanya sudah naik ke kulminasi.
Ketika MRT mulai dioperasikan di Jakarta, moda transportasi ini memangkas waktu tempuh cukup efektif. Teman saya yang tinggal di Depok dan berkantor di Sudirman termasuk yang kini hampir tiap hari menggunakan transport ini. Naik ojol ke stasiun Lebak Bulus, dan lanjut naik MRT. Dulunya dia naik KRL yang selalu berhimpitan dan rawan copet. Sekarang ada opsi.
Lalu LRT juga dioperasikan bagi warga sekitar Cibubur dan Bekasi. Rumah saya termasuk yang dekat dengan stasiun LRT. Anak saya naik ojol ke stasiun Cikunir, naik LRT lalu turun di Pancoran. Dari situ ganti moda, naik TJ ke arah kantornya di Jakarta Selatan. Bersyukur anak saya cukup menguasai peta jalur-jalur kendaraan umum dan tidak segan naik bus meskipun punya kendaraan pribadi.
Saya dulu sering berandai-andai kalau saja MRT di Jakarta sudah mulai dibangun misalnya dari jaman pemerintahan pak Harto, mungkin kita sekarang sudah seperti Singapura atau Berlin. Peta jalur dengan banyak warna, dari utara ke selatan, barat ke timur, ke tenggara dan barat laut, barat daya ke timur laut. Dari Lebak Bulus sampai Ancol, dari Tj Priok sampai Depok, dari Tambun hingga Cikupa, dan lebih jauh lagi.Â
Ke depannya saya berharap pembangunan MRT fase-fase selanjutnya berjalan lancar dan tidak terkendala, begitu juga pembangunan moda transportasi masal lainnya. Meskipun Jakarta tidak lagi menjadi ibukota, tapi sebagai pusat perekonomian tetap membutuhkan sarana penunjang yang layak.Â