Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pengalaman D.I.Y di keluarga saya

24 Desember 2024   16:51 Diperbarui: 25 Desember 2024   04:37 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Saya beruntung punya suami yang terampil. Dia tidak segan duduk lama di lantai membongkar kipas angin yang macet, atau berkutat membuat dan memasang tempat jemuran pakai kerekan, yang jaman dulu belum ada inovasi siap beli di depo bangunan. Jadi dia membeli tali tambang plastik, tongkat pramuka beberapa batang, katrol kecil, lalu semua dirakit dan beberapa jam kemudian jadilah tempat jemuran untuk saya. Jemuran ini bisa dinaikturunkan. Ketika naik, posisinya persis di depan outdoor unit AC, di bawah kanopi, jadi meskipun musim hujan, baju seragam anak-anak dan handuk tetap kering dan tidak bau lembab. 

Saya melihat hal yang sama pada beberapa saudara laki-lakinya. Adik ipar saya pandai memperbaiki mesin mobil. Mobil yang dia kendarai sekarang mungkin usianya sudah 20 tahun, tapi perawatannya bagus dan masih suka dia bawa mudik ke Malang. 

Mungkin waktu kecilnya mereka melihat ayahnya yang tidak mudah membuang barang. Kalau masih bisa diperbaiki, atau dimanfaatkan, maka sesuatu yang sudah rusak itu akan disimpan. Konon ayah mertua saya juga gemar keluar masuk pasar loak. Padahal aktifitas beliau cukup sibuk, mengajar di kampus, pernah juga menjadi rektor, pernah menulis buku juga. Tapi masih trampil menambal sandal dengan tangannya sendiri, atau membuat rak-rak buku tambahan di perpustakaan kecilnya.

Menurut suami saya, di sekolahnya dulu ada mata pelajaran ketrampilan yang mengajari siswa/ siswi menukang, selain menjahit dan memasak yang juga diajarkan di sekolah jaman sekarang. Pelajaran dasar tsb, ditambah dengan melihat ayahnya di rumah, berlanjut dipraktekkan hingga dewasa. 

Sampai sekarang, suami saya masih gemar mengotak-atik. Sepeda cucunya, kalau rodanya seret atau remnya blong, dia turun tangan sendiri memperbaiki. Perbaikan genteng bocorpun dia cari dulu masalahnya di mana sebelum panggil tukang. Dengan tukangpun dia tidak otomatis mengiyakan saran dari pak tukang, tapi dia akan mengeluarkan opininya. Kadangkala, idenya malah lebih efisien dan estetik daripada tukang.

Sayang ketrampilan dan hobi ngoprek itu tidak menurun ke 3 anak. Anak saya ketrampilannya hanya sampai merakit meja atau rak buku yang dia beli dari toko furnitur, yang dilengkapi dengan modul cara pasang. 

Padahal anak-anak saya, seperti juga anak-anak pada umumnya, suka membangun sesuatu dengan Lego, dengan balok kayu atau merakit robot mainan. Tapi hobi itu berhenti sampai di situ dan makin besar hobinya berganti.

Dibandingkan dengan orang-orang di Amerika misalnya, sepertinya orang Indonesia pada umumnya tidak trampil menukang. Kalau saya lihat di acara tv luar, orang sana berani merenovasi dapurnya sendiri, atau membangun rumah pohon tanpa memanggil tukang. Membongkar dinding, memotong kayu dan mengampelas sampai mengecat, semua dikerjakan sendiri. Peralatan tukangnya lengkap. Mungkin karena ongkos tukang bangunan jauh lebih mahal daripada di sini, jadi memiliki nail gun, gergaji mesin, alat bor dsb lebih cost efficient dibanding panggil tukang.

Ketika anak-anak remaja, saya pernah punya ide untuk mengecat interior rumah kami sendiri. Suami dan anak-anak tidak bisa menolak karena saya bersikukuh ingin mengerjakan sendiri. Jadi kami beli cat dinding, kuas dan roller, dan baki cat. Berhari-hari rumah kami bau cat karena pekerjaannya sepertinya tidak selesai-selesai. Dinding bagian atas paling sulit karena harus rapi dan tidak berlepotan mencoreng eternit, dan naik tangga tinggi sambil bawa kaleng cat tidak semudah yang dibayangkan. Ketika pada akhirnya selesai kami cukup bangga melihatnya. Bertahun-tahun kemudian anak saya masih suka menggoda saya, "Ingat gak waktu kita cat dinding berbeda-beda karena mama suka". Memang benar, 4 dinding ruang keluarga saya waktu itu saya cat dengan warna berbeda.

Tidak semua orang bisa dan telaten untuk mempelajari mekanisme suatu benda. Membongkar itu mudah, tapi memperbaiki dan memasangnya kembali itu sangat sulit. Oleh karena itu ucapan yang populer adalah terima bongkar tidak terima pasang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun