Sebagai makhluk modern yang punya koneksi internet di genggaman tangan, pernahkah terpikir bagaimana hidup tanpanya?
Waerebo, adalah salah satu tempat di mana masyarakat lokal hidup dan berkegiatan jauh dari hingar bingar dunia modern.
Desa adat ini terletak di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Dalam itinerary rombongan kami ke Labuan Bajo, salah satu agenda adalah mengunjungi dan menginap di desa Waerebo. Urusan perijinan diatur oleh EO kami di sana.Â
Cukup jauh perjalanan kami dari hotel di Labuan Bajo menuju Waerebo. Waktu itu jalan masih banyak yang rusak bahkan ada jalan tertutup longsoran batu sehingga arus kendaraan diarahkan melewati jalur lain. Setelah 4 jam naik mobil, pada satu tempat perjalanan tidak lagi bisa diteruskan dengan mobil, kami harus berganti naik sepeda motor. Ada jembatan yang waktu itu masih dalam pembangunan. Mudah-mudahan tahun ini situasinya sudah berbeda. Mungkin sekitar 10 menit naik ojek sebelum kami tiba di titik awal pendakian.Â
Desa Waerebo terletak di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut. Jalurnya teduh dan sempit, hanya cukup untuk 2-3 orang berjalan berdampingan.
Perjalanan naik bukit menuju desa adat Waerebo yang sejak 2012 dinobatkan oleh UNESCO sebagai world heritage site, warisan budaya dunia, memakan waktu sekitar 3-4 jam, tergantung kecepatan kaki masing-masing. Satu jam sebelum sampai hujan mendadak turun. Saya dan suami hanya bisa pasrah dengan kondisi baju ganti kami di dalam traveling bag. Kami tidak mengantisipasi turun hujan jadi baju tidak dimasukkan ke dalam kantong plastik sebelum masuk tas.Â
Sambil berhujan-hujan kami melanjutkan perjalanan. Langit sudah mulai agak gelap. Menjelang masuk desa kami disambut wangi bunga kopi, kebun penduduk desa Waerebo. Harum sekali baunya, tapi membuat hati sedikit seram karena wangi samar-samar menjelang magrib.
Di pintu desa kami berhenti sejenak di sebuah bangunan dengan kentongan besar. Setiap ada pengunjung datang maka kentongan itu dibunyikan.Â
Desa Waerebo terdiri dari 7 rumah kerucut yang membentuk lingkaran. Rumah kerucut ini disebut Mbaru Niang. Â
Rumah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat yang mempunyai fungsi berbeda. Tingkat pertama disebut lutur atau tenda, menjadi tempat tinggal keluarga besar. Tingkat kedua (lobo atau loteng) dijadikan tempat menyimpan makanan dan barang. Tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih untuk musim tanam berikutnya. Tingkat keempat disebut lempa rae, tempat menyimpan persediaan makanan. Tingkat kelima yang paling atas disebut hekang kode, digunakan untuk menempatkan persembahan kepada leluhur.