"Gak apa larinya lambat asal PB", demikian seloroh yang umum diucapkan oleh para pelari di seluruh Indonesia.Â
PB, awalnya berarti Personal Best, mencetak rekor pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, tapi bagi pelari kekinian artinya adalah Photo Banyak.Â
Yah, media sosial memang menjadi dunia sehari-hari manusia jaman modern. Banyak orang melakukan sesuatu demi konten, demi likes, demi menambah follower.
Mau makan di restoran, foto dulu interiornya, foto dulu makanannya, foto dulu bersama teman-teman. Minum kopi di gerai yang sedang ngehits, foto dulu gelas es kopi yang berembun dengan latar belakang bokeh.
Penggemar olahraga, atributnya sekarang keren-keren. Produsen sepatu lari mengimbangi dengan mengeluarkan sepatu warna-warna berani seperti hijau stabilo, jingga atau kuning menyala. Jersey dan jaket juga disesuaikan warnanya dengan sepatu. Para goweser juga tidak kalah keren dengan sepeda yang harganya bisa sampai belasan hingga puluhan juta.Â
Tapi semua itu kurang afdol kalau fotonya tidak fantastis. Foto selfie tentunya sulit kalau sedang lari, atau naik sepeda. Memang ada komunitas yang rela merogoh kocek untuk menyewa fotografer pribadi untuk memotret aktivitas mereka.
Teman saya yang suka main bola misalnya, setiap mereka mengadakan friendly match selalu ada fotografer yang sigap membidik aksi orang-orang ini di lapangan hijau.
Di mana ada demand, di situ muncul supply. Muncullah street fotografer yang selalu mangkal di setiap event CFD, hari bebas kendaraan bermotor. Entah di Sudirman, di Bekasi, dan di kota-kota lain. Mereka juga selalu ada di event-event lari di seluruh Indonesia.Â
7-8 tahun lalu pemotret jalanan ini belum populer. Dulu kalau suami ikut event lari, saya harus standby di spot-spot yang estetik dan menunggu dia lewat. Mengandalkan fotografer yang disewa oleh EO lari agak susah. Belum lagi harus mencari fotonya di antara ratusan foto yang tercapture oleh para fotografer tsb.