Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Follow Your Heart

21 Agustus 2024   19:22 Diperbarui: 21 Agustus 2024   19:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Navillera, drama Korea 12 episode keluaran tahun 2021. Saya baru selesai menonton kemarin.

Menceritakan tentang seorang pria (Sim Deok-Chul) yang baru merayakan ulang tahunnya yang ke 70. Di usia lanjut dia kehilangan teman seumuran yang sampai akhir hayatnya masih punya cita-cita tak tergapai yaitu berlayar di laut. Ketika tak sengaja melihat seorang anak muda menari ballet, Deok-Chul diingatkan kembali pada mimpinya saat remaja. Keinginannya belajar ballet ditentang ayahnya. 

Mimpi yang pupus karena larangan orang tua (masa remaja) dan later on, di waktu dewasa karena tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Bahkan di masa pensiunnya ketika akhirnya dia memutuskan untuk mulai belajar ballet, istri dan anak-anaknya tidak serta merta mendukung. Keluarganya tidak mengetahui kerasnya niat Deok-Chul belajar ballet ternyata akibat diagnosa Alzheimer yang membuatnya kuatir tidak punya banyak waktu lagi untuk merealisasikan impiannya. Bagaimana mungkin dia bisa menghafal gerakan ballet kalau ingatannya sudah tidak bisa diandalkan? Itu ketakutan terbesarnya.

Mimpi, harapan, cita-cita

Berapa banyak orang yang harus mengubur mimpi karena tidak realistis dengan tuntutan kehidupannya. Terutama kalau sudah berkeluarga. Banyak yang harus dipertimbangkan. Waktu masih jadi anak, mimpi menjadi pelukis misalnya, terhempas karena keinginan orang tua agar anaknya menjadi sarjana dan bekerja sebagai ASN. Ketika dewasa dan berkeluarga, tanggung jawab sebagai orang tua menuntut kita mencari pekerjaan yang bisa menghidupi keluarga dengan layak. Tidak mudah mencari pekerjaan sesuai passion, sesuai mimpi kita. Sebagian bahkan mimpi sekolah tinggi saja harus terpuruk karena ketiadaan biaya.

Ada kerabat yang usianya di atas saya. Sejak remaja dia suka seni. Lulus SMA dia ingin masuk seni rupa agar bisa terjun dan mengeksplorasi dunia seni seluas mungkin. Tapi ayahnya melarang keras dan sebagai anak yang berbakti dia akhirnya memilih jurusan lain yang lebih menjanjikan bagi masa depannya. Jaman dulu, tak banyak seniman yang berhasil dan karyanya dihargai tinggi oleh masyarakat. Mereka benar-benar  harus talented dan pastinya juga butuh faktor luck. Kerabat saya ini kemudian menjadi seorang ahli di bidangnya, tapi di waktu luangnya dia masih menulis puisi, main gitar dan menulis lagu. Seni tidak bisa lepas dari dirinya. 

Belakangan ini, menjelang purna tugas, ketika anak-anak sudah dewasa dan sebagian sudah menikah, saudara saya ini mulai lebih bebas mengekspresikan keseniannya. Didukung istrinya yang sama-sama pecinta seni dan lagu, mereka menggarap album musik. Di usianya yang melebihi kepala 6, mereka sudah menelurkan 3 album.

Ada teman saya yang 'hanya' lulusan D3, ketika anak sulungnya masuk kuliah, si ibu memberanikan diri untuk enroll di jenjang S1 kelas karyawan.

Teman lain, yang waktu mudanya menjadi jurnalis, akhirnya berhasil menerbitkan tulisannya di usianya yang hampir  60 tahun.

Follow your heart. Selama masih bernafas, berarti masih ada kesempatan untuk mencapai apa yang selama ini anda cita-citakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun