Belum lama ini saya pindah rumah. Pindah dari sebuah hunian yang sudah ditinggali selama kurang lebih 30 tahun ke tempat yang baru. Kebayang tidak repotnya? Semakin lama kita tinggal di satu tempat, makin banyak barang (baca: sampah) yang dikumpulkan. Isi lemari pakaian yang mesti disortir, buku dan perabot yang mau dibawa, memilah yang tidak dibutuhkan tapi masih layak pakai untuk didonasikan, atau mungkin ada yang bisa dijadikan uang. Ruwet! Tak bisa 2 hari kelar.Â
Beruntung anak-anak sudah besar jadi bisa diperintah untuk membantu. Paling tidak membereskan barang-barangnya sendiri. Tapi tetap saja porsi terbesar ada di saya, ibunya. Kenapa? Pertama karena saya yang lebih sering ada di rumah, kedua adalah hanya saya yang lebih tahu barang mana saja yang punya nilai sentimental, nilai historis, dibanding anggota keluarga yang lain.Â
Di sudut gelap sebuah lemari saya menemukan 1 kardus usang.Â
Membuka kardusnya persis seperti membuka kotak pandora. Segala macam kenangan lama tumpah ruah dari situ. Ada foto berbingkai kayu, muka saya waktu remaja yang dulu saya pasang di dinding kamar saya. Narsis! Ada gulungan klise yang anak genZ pasti heran barang antik jenis apa itu, itu dari foto-foto wedding saya lebih dari 30 tahun lalu. Ada surat-surat pacar yang kemudian jadi suami saya. Ada juga surat dari ayah mertua ke suami waktu dia masih kuliah. Lalu ada diary, jurnal saya waktu SMA.Â
Hmm...Â
Saya bersandar di tembok dan membuka lembaran diary. Senyum-senyum sendiri membaca isi hati seorang gadis, cerita di kelas, cerita gebetan, cerita malam mingguan, cerita kabur dari kelas, puisi tentang cinta, tentang rindu, pertengkaran, curahan amarah dan cemburu buta, dsb.
Membaca tulisan sendiri saya jadi geli campur malu. Ternyata saya pernah se-bucin itu, pernah se-insecure itu. Â Menemukan tulisan lama yang hanya saya yang bisa baca saja bisa membuat saya malu.
Lantas saya jadi membayangkan orang-orang jaman sekarang, jaman teknologi informasi, di mana dengan gampangnya seseorang mengomentari, menghujat, membully orang lain, menulis komen jahat di medsos artis, cuma karena misalnya si artis berbaju terbuka, atau karena si selebgram bercerai. Komen-komen menghakimi, mencela, kadang ekstrim dan tidak proporsional, seperti upaya supaya diperhatikan oleh si artis. Atau memposting sesuatu yang belum dikonfirmasi dengan harapan bisa viral. Semuanya terpampang di tempat di mana mata publik bisa mengakses.Â
Saya sering geleng-geleng kepala kalau membaca komen-komen pedas di medsos. Mungkin benar kalau ada yang bilang katanya netizen Indonesia termasuk yang paling tidak sopan seAsia Tenggara. Apakah ada kepuasan di diri penulis komen tsb setelah memposting? Apakah karena tidak langsung bertatap muka jadi merasa berani? Saya pernah menulis komentar bernada cemoohan pada seseorang yang saya follow di medsos. Saya tidak tahu apakah si empunya akun membaca atau tidak. Tidak lama setelah saya posting, saya berpikir ulang dan merasa kurang pantas menulis seperti itu. Akhirnya saya cari lagi komen saya dan saya hapus. Sejak itu saya hanya menulis komen yang positif. Tidak semua hal perlu dikomentari, itu kata-kata bijak anak perempuan saya si milenial.
Konon sesuatu yang pernah diposting di internet seperti foto dan video, hampir mustahil untuk bisa dihapus.
Bagi orang-orang yang sudah terlanjur menorehkan digital tattoo yang kurang pantas, kalau suatu hari di masa depan mereka melihat lagi hasil karya mereka, apa yang mereka rasakan? Malu? Atau biasa saja? Entahlah.