Mohon tunggu...
Dian Ade Permana
Dian Ade Permana Mohon Tunggu... swasta -

tidak takut besok//merdeka dan bahagia//pecinta anak dan istri..

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Festival Mata Air 6: Antara Pesta dan Realitas Penyelamatan Lingkungan (Sebuah Catatan)

3 Juli 2014   01:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pesta selalu menyenangkan. Merayakan segala sesuatu dalam suasana apapun sangat dibutuhkan agar timbul gairah. Termasuk dalam upaya perjuangan penyelamatan lingkungan.

Salah satu yang gempita dalam penyelamatan lingkungan adalah komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK) melalui Festival Mata Air (FMA). Tahun 2014 ini, FMA dilaksanakan di Dusun Tajuk, Desa Pulihan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, 13-15 Juni. Lokasi ini dipilih karena berada di lereng Gunung Merbabu, memiliki sumber air dan merupakan daerah tangkapan air untuk Salatiga, Kabupaten Semarang, Magelang.

FMA adalah pesta dalam arti sesungguhnya. Disini ada berbagai kegiatan. Seperti workshop musik, penampilan band dari berbagai aliran musik, diskusi tentang upaya penyelamatan lingkungan, aksi nyata penyelamatan lingkungan dengan penanaman dan perawatan pohon, serta aktivitas budaya lain yang dikaitkan dengan penyelamatan lingkungan. Termasuk didalamnya menggandeng dan memberdayakan potensi serta kearifan lokal.

Namun pesta tak akan bermakna jika itu hanyalah sebuah pesta. Pesan-pesan pesta harus tersampaikan kepada para pengunjung pesta agar tertulari aura positif suasana kerianggembiraan. Terpenting lagi, pesta FMA bisa menyatukan semangat dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pesta dan semangat ini harus menjadi prinsip yang mendasari semangat seluruh pejuang lingkungan hidup. Jika dua prinsip ini berjalan sendiri-sendiri, maka yang terjadi adalah FMA menjadi tempat pesta yang tak terkendali.

Menilik pelaksanaan FMA 6 tahun ini, komunitas TUK dan pemuda Dusun Tajuk bertekad tetap melaksanakan pesta tersebut dalam ‘suasana yang kurang kondusif’. Penyebabnya, FMA dilaksanakan di tahun politik, bahkan tepat di masa kampanye calon presiden RI. Kondisi ini secara tidak langsung menjadikan ‘segala sesuatunya menjadi sulit’.

Selain itu ada juga dilema. Jika menggandeng politisi, FMA bisa menjadi ajang klaim dan ditunggangi. Di sisi lain, politisi adalah pembuat kebijakan yang harus turut serta berperan dalam penyelamatan lingkungan dan sumber air. FMA semestinya bisa didesain menjadi kampanye untuk menunjukkan kekuatan nyata relawan pejuang lingkungan hidup di hadapan politisi secara langsung. Harapannya, politisi tersebut tersadar bahwa ada aspirasi yang harus diperjuangkan di bidang lingkungan hidup. Perjuangan yang bukan formalitas belaka.

FMA tahun ini digelar diluar rutinitas akhir tahunan dan digeser ke tengah tahun. Tentu perubahan ini menjadikan relasi dan jaringan TUK ‘kelabakan’, terbukti dengan adanya bentrokan jadwal sehingga rekan-rekan dari luar kota berhalangan hadir. Meski tidak menganggu acara, namun absennya mereka cukup mengurangi aura pesta FMA.

Kegagalan pelaksanaan acara yang sudah dijadwalkan juga musti diperhatikan. Tanpa kedisiplinan, mungkinkah kita menyelamatkan lingkungan?. Semua yang terlibat dalam FMA seharusnya diajak dengan penuh kesadaran untuk mematuhi jadwal yang sudah ditentukan. Apalagi ada beberapa kegiatan yang dilaksanakan secara bersamaan, mereka bisa memilih acara yang akan dihadiri tanpa unsure keterpaksaan. Tak ada pesta tanpa aturan dan tak ada pesta yang tak berakhir.

Catatan lain adalah keterlibatan warga lokal. Mengikutsertakan warga adalah keharusan agar peran dalam kampanye penyelamatan lingkungan juga meningkat kareta merekalah yang setiap hari berada di dekat sumber-sumber air. Tak ada salahnya memberi ‘porsi lebih’ dalam keikutsertaannya agar tumbuh rasa bangga karena terlibat dalam pesta FMA. Dengan rasa bangganya mereka akan menjadi tim sukses yang berkampanye secara sukarela, bercerita kepada pihak lain tentang perannya di FMA.

FMA 6, yang digagas komunitas TUK, berlangsung ditengah berbagai kendala. Namun dengan semangat mampu mengadang kendala serta tantangan bahkan mengubahnya menjadi energi. Apresiasi dan angkat topi untuk seluruh pejuang lingkungan. Pesta di FMA 6 sudah berakhir dan Mata Air Garuda terus menetes membasahi pejuang yang tak kenal lelah. Perusakan lingkungan terus terjadi. Saat ini, rakyat di Pegunungan Kendeng berjuang menyelamatkan bumi dari kerakusan pemodal. Mari kita semua tularkan virus pesta penyelamatan lingkungan di seluruh dunia. Berjuang dengan hati riang gembira, lingkungan akan tetap terjaga!!!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun