Mohon tunggu...
Diana Ayu Nindita
Diana Ayu Nindita Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seseorang yang ingin menjadikan menulis sebagai hobi dan sarana berbagi, serta menajamkan intelektualitas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teruntuk Ayah Durhaka

22 Maret 2013   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis itu luluh lantak, menyesal dirinya tak dilahirkan di zaman jahiliyah saat orang tua mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Ia lebih bahagia seperti itu, biar saja jadi bidadari di surga.

Gadis itu anak sulung. Kecerdasannya di atas rata-rata, wajahnya ayu, santun akhlaknya. Ibu manapun yang melihatnya pasti jatuh cinta, menginginkan ia jadi menantunya.

Tapi sekarang ia menjerit, mencari cara menambal hatinya yang berlubang. Entah dengan apa ia akan menambalnya, dengan kebencian dan dendam atau kah dengan kasih sayang.

Gadis itu menginginkan penentuan masa depan dirinya berada dalam genggamannya. Ia ingin berdiri di atas kakinya sendiri, dengan bekal suri tauladan dari ayahnya, idolanya sepanjang masa.

Tapi idolanya ternyata adalah orang yang munafik. Huh, ia menyeringai. Pantaskah menyebut ayahandanya sendiri seorang munafik?

Tentu, dalil yang berkata bahwa cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya menjadi prinsip si gadis. Ia begitu menghormati ayahnya, begitu pun ia kira ayahnya juga bangga memilikinya. Betapa tidak, ayahnya menghujaninya dengan kecukupan, memayunginya wajah yang teduh, menyodorkan pundak untuk bersandar dan tangan yang melindungi.

Ah, tapi lagi, si gadis menemukan fakta bahwa ayahnya menyambut kelahirannya dengan wajah masam, tak menerima anak pertamanya haruslah perempuan. Oh ya ampun, pasti ayahnya berpikiran alangkah bahagianya memiliki anak sulung laki-laki yang laik menjadi penerusku, bisa membuatnya sejahtera di masa tua. Si gadis terhenyak, berusaha menepis pikiran itu, toh cerita itu hanya masa lalu, ayahnya pasti sekarang malah menyesal dulu pernah mencaci hari-hari pertama si anak perempuan muncul ke dunia.

Uh, tapi lagi-lagi, kata-kata yang tak ingin didengar si gadis malah meluncur bebas dari mulut sang ayah. Melihat si gadis memutuskan untuk mengabdikan diri menjadi seorang guru, bukan dukungan yang diperolehnya, melainkan makian pedas, "Memang dasar anak perempuan, sudah disekolahkan capek-capek sampai pintar, disuruh jadi dokter tidak mau, disuruh jadi ekonom tidak mau. Sekarang malah mau jadi guru. Jadi selama ini Ayah hanya membesarkan anak bermental babu?!"

Ya Tuhan, ia tidak kuat lagi. Ia menahan diri untuk tidak menjadi kriminal atau malah gila. Kerajaan yang ia bangun runtuh seketika. Hanya karena seorang ayah, yang tiap hari ia do'akan kesehatan dan keberkahan rizkinya, menghujam jantungnya. Gadis itu bagai masuk lubang buaya, entah apa ia besok akan sanggup melihat matahari lagi, mataharinya yang ia sebut......AYAH.

Si gadis ingin sekali berkata, "wahai Ayah, aku memang tidak bisa merasakan jadi dirimu, yang bersusah payah menafkahi keluarga. Aku hanya tahu engkau berpengharapan besar terhadapku. Namun maafkan aku, Ayah. Aku tak bisa menjadi seperti anak laki-laki yang kau ingin andalkan. Aku tidak ingin durhaka terhadapmu, namun aku mengerti kodratku, Ayah. Setidaknya izinkan aku di masa depan menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku, yang tak lain adalah penerusmu juga, penerus bangsa, penerus agama. Izinkan aku mengabdikan sedikit ilmuku untuk mencetak bibit unggul bangsa ini, meninggalkan setapak jejak di dunia dan membeli sedikit saham surga di akhirat. Izinkan aku untuk terus mendo'akanmu, membentuk secercah cahaya buatmu di hari perhitungan kelak. Hanya 3 hal itu yang kuminta izinmu untukku melaksanakannya. Hanya itu. Saja."

Para muslim yang (akan) menjadi seorang ayah, ingatlah bahwa Rasulullah SAW bersabda :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun