"Billa?" kakek melangkah mendekatiku.
"Iya kek?"
"Ayo mandi terus ikut kakek ke rumah bude!"
"Iya kek," tanpa menoleh sedikitpun aku berlalu meninggalkan kakek menuju kamar mandi.
Segera aku membersihkan diri dan mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah bude. Tanpa banyak bicara aku pun ikut ke rumah bude. Rasa sakit kepalaku membuat aku terdiam tanpa banyak kata. Setiap pertanyaan dari bude hanya aku jawab singkat-singkat saja. Setelah selesai pembicaraan antara kakek dan bude, kami berpamitan pulang.
Sorepun tiba, aku masih saja di rumah kakek. Nampak dari dalam rumah, ibu datang.
"Bil?" ibu melangkang ke dalam rumah, dan mendekatiku yang tengah duduk di ruang tamu.
"Billa masih pengen disini bu,"
"Ayo pulang nanti gak diajak bapak ke pasar malam lho,"
"Yasudah aku ikut pulang," dengan lesu aku mencoba melangkah pulang ke rumah, sampai lupa tidak berpamitan dengan kakek.
Hari-hari aku lalui dengan baik. Tanpa ada bentakan, amarah, pukulan, omelan atau apapun itu yang biasanya dilakukan ibu terhadapku. Aku senang.
Namun tidak hari ini, ibu mulai membentakku lagi hanya karena aku meminta uang jajan.
"Ibu itu lagi gak punya duit, gausah minta jajan terus!"
Aku hanya diam
"Setiap hari cuma bikin ibu pusing saja!"
Adikku yang kedua mulai menangis. Dan ibu semakin terlihat marah.
"Astaga dasar anak-anak gak bisa lihat ibunya senang, bisa diam tidak? Ibu pusing dengernya, kepala ibu rasanya mau copot,"
Aku mencoba menenangkan adik keduaku supaya tidak menangis lagi. Tapi bukannya menjadi tenang, justru semakin keras menangisnya. Dan ibu terlihat kesal sekali, lalu menghampiriku. Dan plakkk. Satu tamparan di pipiku.
"Kamu itu udah gede, harusnya bisa jagain adiknya, kasih contoh yang baik buat adiknya, bukan malah ngajarin jajan!" ibu terus memarahi aku.
"Kan aku cuma minta uang jajan,"
"Kalau dibilangin orangtua kok malah ngebantah terus,"
"Ya ibu, apa-apa yang diturutin adik terus, aku mana pernah disayang,"Â
aku menggerutu dan mencoba meninggalkan adikku yang sedari tadi aku pegang tangganya, namun karena reflek aku berdiri, aku melepaskan tangkan adikku dan adikku jatuh. Langsung saja satu dorongan tangan dari belakang mendorongku jatuh, kepalaku membentur lantai. Sakit dan keadaan mulai gelap. Pun aku tidak mengingat apapun lagi.
Setelah beberapa saat aku tidur, aku pun terbangun. Aku lihat ibuku menangis, bapakpun menangis, kakek nampak mondar-mandir gelisah. Aku mencoba berdiri dari ranjang rumah sakit ini. Aku berjalan ingin menhampiri kakek.Â
Namun saat aku membalikkan badan ada pemandangan menarik. Dan di ranjang itu, siapa gadis itu, mengapa mirip sekali denganku. Tampak darah di pelipisnya, tampak bibirnya pucat, dan selang oksigen masih menancap di hidungnya. Tunggu! Ibu terus-menerus memanggil namaku lirih sembari mengelus rambut gadis itu. Saat itupun pintu kamar terbuka, ada suster dan dokter yang datang. Menghampiri ibuku.
"Ibu, segera mungkin kita harus mengurus jenazah anak ibu, kami minta maaf tidak bisa mnyelamatkan anak ibu," dokter tersebut berbicara kepada ibuku.
Jenazah anak ibu?. Itu ibuku, lalu aku ini anaknya. Berarti gadis yang tertidur di ranjang itu adalah aku. Jenazah? Dan itu artinya aku sudah meninggal?