Publik lagi heboh membicarakan mengenai sinetron di stasiun berlogo ikan terbang berjudul "Suara hati Zahra." saya tidak menonton sinetronnya karena tidak mau menambah rating pada acara yang melanggengkan patriarki dan membuat perempuan saling bermusuhan satu sama lain. Jalan ceritanya mengenai seorang gadis berusia 17 tahun masih SMA dinikahkan secara paksa pada saudagar di kampungnya untuk melunasi hutang ayahnya, celakanya si gadis dijadikan istri ketiga, terdapatlah pertengkaran dan kecemburuan antar para istri.Â
Warganet heboh mengatakan sinetron ini menormalisasikan pedofilia, child grooming dan pernikahan usia anak. Pemain film yang menjadi pak Tirta marah di media sosialnya mengatakan " jika tidak suka acaranya tidak usah ditonton." Sayangnya acara TV berbeda dengan youtube, TV disiarkan secara nasional, pemirsa tidak memiliki hak untuk mengganti acara seperti halnya youtube. Disisi lain, TV nasional seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat malah membuat keresahan masyarakat.Â
Tokoh utama Zahra pada aslinya berusia 14 tahun, bulan Oktober nanti menjadi 15 tahun, dia beradu peran dengan pria berusia 39 yang mungkin seusia bapaknya. Ada beberapa adegan mengelus, mencium kening, tidur di kasur bersama. Bahkan ada adegan (menurut netizen) saat malam pertama Zahra menangis ketakutan. Publik mengatakan adegan ini ada sarat pedofilia. Tampaknya ada pemahaman keliru mengenai pedofilia, menurut DSM V (buku panduan psikolog klinis dan psikiatri untuk mendiagnosis) disebut pedofil ketika individu dewasa minimal usia 16 tahun menyukai anak dibawah usia 12 tahun yang belum memasuki pubertas.Â
Tokoh Zahra digambarkan usia 17 tahun, sehingga sudah dipastikan sudah pubertas, dia sudah mengalami menstruasi pertama, pembentukan payudara, perubahan lengkuk pinggang dan suara. Artinya sebutan pedofilia kurang tepat. Namun hukum Indonesia mengatakan, anak adalah individu yang berusia 0-18 tahun, sehingga dalam hukum Indonesia dapat dikatakan Zahra masih usia anak. Dapat dikatakan pernikahan pak Tirta melanggar  UU perlindungan anak.Â
Didalam cerita ini ada unsur trafficking yaitu penjualan manusia. Ingat alur cerita, ayah Zahra memiliki hutang sehingga jaminannya adalah anaknya. Keberadaan Zahra dianggap setara dengan hutang bapaknya. Unsur lain yang banyak dibicarakan adalah stockholm syndrome, sebagai orang yang bergerak di bidang kesehatan mental, saya sedikit tergerak untuk membahasa stockholm syndrome.Â
istilah Stockholm Syndrome berasal dari fenomena di kota Stockholm, Swedia. Saat itu terjadi perampokan bank yang membuat beberapa pegawai bank dan pelanggan menjadi tawanan untuk keselamatannya. Selama beberapa hari tawanan mendapatkan sejumlah teror dan kebaikan kecil dari perampok. Polisi akhirnya berhasil menyelamatkan tawanan dengan melakukan sejumlah negosiasi. Ketika polisi hendak menangkap perampok, keanehan terjadi para tawanan menangis histeris tidak mau perampok tersebut ditangkap, beberapa dari mereka melakukan pembelaan dan bersikap simpati kepada penculiknya. Para perampok akhirnya ditangkap, beberapa tawanan menjalin hubungan romantis dengan para penculiknya. Mereka terang-terangan menunjukkan pembelaan apa yang sudah dilakukan perampok.Â
Kondisi inilah yang disebut dengan stockholm syndrome, sebuah kondisi ketika seorang tawanan yang diculik bersikap simpati dan membela perampoknya, sehingga tidak sedikit tawanan kembali kepada penculiknya. Beberapa ahli menyebutkan stockholm syndrome adalah bentuk perlindungan ketakutan terhadap ancaman dengan bahaya, tawanan merasa takut, satu kebaikan kecil dari penculik dimaknai sebagai kebaikan luar biasa sehingga menetralisasikan ketakutan tersebut menjadi persepsi baik terhadap penculik.Â
Kembali pada kasus Zahra di sinetron suara hati Zahra, apakah termasuk stockholm syndrome? Unsur dalam stockholm syndrome adalah tawanan melakukan pembelaan dan bersikap simpati kepada penculiknya. Hal yang sangat terlihat dalam sinetron ini adalah unsur trafficking anak dan pernikahan usia anak. Sayang sekali, ketika aktivis dan pemerintah berusaha menaikkan usia pernikahan dari 16 menjadi 19 tahun tidak diperhatikan oleh para produser tv. Entah apa yang dipikirkan oleh para produser dan sutradara terhormat ini sehingga acara ini bisa ditampilkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H