Beberapa waktu lalu, dalam salah satu sidang di universitas (sebagai syarat kelulusan) akhirnya membawa saya pada pertemuan dengan seorang mahasiswa, yang mana obrolan kami masih terus berlanjut meskipun sidang tersebut telah berakhir. Dalam obrolan ini memang menanggapi salah satu tulisan saya di Kompasiana yang berjudul "Jika saya bukan aktivis, maka saya seorang apatis?".
Menariknya adalah, mahasiswa yang menanggapi tulisan saya ini memang seorang aktivis di kampus, dan dalam obrolan tersebut ada sedikit kalimat darinya yang meninggalkan kesan pada saya. Yakni "Kami sebagai aktivis pun tidak pernah memaksa kalian (yang bukan aktivis) untuk menjadi seorang aktivis seperti kami".
Setelah saya pikirkan berkali-kali terhadap kalimat tersebut, ternyata memang ada benarnya juga. Toh pada kenyataannya bahwa saya (bukan seorang aktivis) pun tidak pernah memaksa mereka (aktivis) untuk berhenti menjadi seorang aktivis. Kami hanya memiliki cara pandang yang berbeda dalam sebuah permasalahan atau kejadian.
Sederhana memang, namun hal-hal seperti itu telah membuktikan bahwa kita sering kali berselisih paham hanya karena kurang menghargai, dan perbedaan penilaian dalam berpikir.
Padahal jika sedikit saja kita ingin mendengarkan pendapat orang lain, maka hal-hal adu pendapat tanpa arah yang jelas pasti tak akan terjadi, contohnya? Banyak! misalnya mereka yang kurang suka dengan para penggemar K-Poppers dan mengatas namakan dirinya sebagai anti fans, maka dengan panjang lebar mereka tuliskan pendapat-pendapat yang ada dalam pikiran mereka dalam sebuah kolom komentar dengan kesan menyerang.
Begitu pun sebaliknya, beberapa dari penggemar K-Poppers akan membalas dengan tulisan yang tak kalah menyerang. Bahkan mirisnya lagi adalah apabila kata-kata kasar sudah terselip dalam setiap komentar yang mereka tulis.
Fenomena pertengkaran antara fans dan anti fans adalah bagai air dan api dalam media sosial. Entah, siapa yang jadi apinya dan siapa airnya? yang jelas kalau ditanya, pasti keduanya akan memenangkan pendapat masing-masing. Dan jalan pemikiran receh seperti inilah yang sedang asik menyerang sebagian masyarakat kita, kebanyakan anak muda jelasnya.
Meski sebenarnya fenomena seperti ini pun pernah terjadi semasa saya duduk di bangku sekolah, dulu ada istilah APWG untuk mencirikan sekelompok orang yang menyatakan sebagai anti fans pada salah satu band lokal.
Keadaan seperti ini sudah berlangsung sejak lama, dan yang bikin herannya adalah "Bagaimana peran para idola mereka ketika perang antara fans dan anti fans terjadi ?" Toh kalau dibilang abai sepertinya tidak, karena beberapa kali saya lihat infotainment tentang kasus selebritis yang memperkarakan para anti fansnya ke jalur hukum dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan. Dan itupun kalau sudah bersifat mengancam kenyamanan si seleberitis ya, kalau masih perang kata-kata alay antar fans dan anti fans saja sepertinya dianggap biasa.
Memang semua kembali pada diri individu masing-masing, kalau suka silahkan nikmati, kalau tidak suka, ya tidak usah. Lagipula kalau diatanya secara bijak, saya yakin bahwa dari pihak fans pasti akan menjawab bahwa mereka para fans sebenarnya tidak pernah memaksa para anti fans untuk menjadi fans atau penggemar dari idola mereka, dan sebaliknya pun begitu.Â
Mereka hanya memiliki penilian yang berbeda terhadap seorang atau sekelompok public figure. Suka, tidak suka adalah hal yang biasa, namun pertengkaran yang bahasa anak sekarangnya adalah unfaedah seperti ini, jika terus dibiarkan, maka harus berapa banyak anti fans yang berujung penyesalan, menangis, memohon karena akhirnya diperkarakan ke jalur hukum atas perbuatannya ? padahal sederhananya adalah, jika pihak fans abai terhadap hatespeech dari pihak anti fans, maka pertengkaran alay pun tidak akan terjadi.Â