Cerita ini akan saya mulai saat saya menjadi anak pindahan atau anak baru di salah satu sekolah swasta yang terkenal dari berbagai segi kualitasnya. Kemudian, saat dites menulis dan membaca, kemampuan saya memang kurang dari kebanyakan murid di sana, maka masuklah saya sebagai anak baru di kelas paling ujung dengan keseluruhan murid-muridnya dikategorikan sama.Â
Namun di hari berikutnya, saya dipindahkan ke kelas yang kategorinya sedikit berada di atas kelas saya sebelumnya, sebut saja kelas D. Karena orang tua saya ingin saya bersaing dengan murid yang kemampuannya lebih.
Hari-hari saya di sekolah tersebut sangat membosankan. Di hari senin, saya selalu upacara di barisan paling belakang, jika jam istirahat tiba, maka saya akan makan sendirian, dan pergi ke toilet pun selalu sendiri. Bahkan yang paling menyebalkan adalah jika praktek sabung dalam pelajaran bela diri tiba, maka saya selalu mendapatkan pasangan sisa, bisa saja dia murid laki-laki atau si pelatih itu sendiri. Yapsss, benar sekali, saya menjadi murid yang di-bully dalam sekolah tersebut.
Saya masih ingat jelas ketika salah satu murid menganggap saya sebagai bubuk rengginang. Saat itu di depan kelas murid-murid sedang ramai berkerumunan, dan di dalam kelas saya sedikit penasaran, maka saya tanyalah kepada salah satu murid di dekat saya begini. "Di depan kelas ada apa ? kok rame", namun murid tersebut memalingkan matanya seolah jijik dan berlalu begitu saja dari hadapan saya tanpa sepatah jawaban.
Saya pernah mencoba untuk memperbaiki mental saya, hingga saat praktek olahraga tiba, saya memberanikan diri untuk begabung dengan team putri, kemudian bermain bola lah saya melawan murid dari kelas lain. Senang bukan main ketika saya memasukan bola ke gawang lawan dan memenangkan permainan.
Saat itu saya pikir saya sudah memperbaiki mental saya yang buruk dalam permainan tersebut, tapi ternyata tidak. Setelah permainan bola selesai, murid dari kelas lain mem-bully saya karena saya salah satu pemain yang memasukan bola ke gawangnya, sementara murid-murid yang satu tim dengan saya enggan membela saya. Mungkin bagi mereka, setelah permaianan bola selesai, maka keadaan kembali seperti semula, dan saya kembali di-bully.
Saya sering berpikir tentang apa yang salah dari diri saya sampai saya dijauhi oleh murid-murid lain, apakah saya jelek? Bau atau bodoh? Di mana saat itu hanya sayalah murid yang diminta uang jajannya oleh salah satu murid laki-laki di kelas, hampir setiap hari. Dan semua itu adalah pengalaman saya yang paling saya benci.
Ini siklus paling berbahaya dalam kasus bullying
Setelah lulus dari sekolah tersebut, kemudian saya sengaja memilih sekolah yang mana tak banyak muridnya berasal dari sekolah saya sebelumnya. Saat di sekolah saya yang baru ini, saya berusaha untuk mencari dan berteman dengan murid yang mampu melindungi saya. Hingga pada akhirnya saya memiliki teman seperti itu, namun sayangnya keadaan saya ternyata melampaui batas, sebab saya berteman akrab dengan murid yang ditakuti oleh teman satu kelas, bahkan di seluruh kelas.
Keadaan saya berubah hampir seluruhnya, dari yang jarang tertawa menjadi lebih sering tertawa, dan parahnya adalah saya tertawa di atas penderitaan murid lain. Ya, saya menjadi pelaku bullying di sekolah tersebut. Saya sering meledek dan mengganggu murid lain di kelas, bahkan beberapa kali saya pernah membuat murid lain menangis karena tingkah saya.
Dipanggil guru atau dilaporkan kepada guru adalah hal yang biasa untuk saya saat itu. Saya pernah memasukan serangga ke dalam seragam teman saya di kelas, dan saya sering mengganggu bahkan parahnya saya dan teman lainnya pernah melakukan percakapan grup kelas (facebook) di LAB komputer tanpa memasukan akun salah satu murid yang di-bully.Â
Saat itu saya teratawa keras membaca dan menulis kalimat ledekan dalam obrolan tersebut, terlebih melihat teman saya yang di-bully kebingungan melihat reaksi teman satu kelas menertawainya di ruang komputer.