Menjadi seorang mahasiswa adalah campur aduk rasanya, manisnya ada, pahitnya apalagi (banyak) hehee, yang jelas semua tergantung bagaimana kita menjalankannya. Kebetulan saat ini saya sedang menjalankan pendidikan sebagai seorang mahasiswa semester akhir yang mudah-mudahan diwisuda tahun ini, Amin.Â
Jika kembali mengingat, maka banyak sekali kejadian-kejadian berharga sepanjang masa perkuliahan dari semester pertama hingga saat ini. Dan ada satu hal menarik yang pernah terjadi di salah satu semester dan sampai sekarang masih menari-nari indah di dalam pikiran saya, yaitu kata "apatis".
Entah sudah berapa kali saya mendengar kata apatis dari salah satu teman saya di kampus. Saya tidak tahu jelas kata "apatis" itu dituju kepada siapa, apakah untuk saya? Atau untuk beberapa teman saya? Atau untuk saya dan beberapa teman saya, kecuali teman saya yang mengatakan apatis ini.Â
Secara gamblang, saya memang hanya mahasiswa biasa-biasa saja, tidak terkenal, tidak juga pandai, malah cenderung cengengesan dan tidak aktif dalam organisasi (tidak untuk ditiru ya). Hal seperti itu jelas berbeda jauh dengan teman saya yang mengeluarkan kata "apatis" dari mulutnya, teman saya ini memang seseorang yang aktif dalam organisasi khususnya dalam masalah sosial politik, dan memiliki pengetahuan yang luas, semua terlihat dari cara bicara dan caption di medsosnya.
Cukup sampai disitu saja. Karena fokus saya bukan untuk membicarakan teman saya, melainkan menjelaskan bagaimana munculnya pertanyaan "Jika saya bukan seorang aktivis, maka saya apatis?" di dalam pikiran saya.
Beberapa kali saya pernah membaca dan mendengar kalimat yang pada intinya adalah mahasiswa zaman sekarang mulai kehilangan jati dirinya sebagai agen perubahan, maka adu pendapat pun bermunculan, seperti yang sedang saya lakukan dalam tulisan ini. Dalam usaha membela diri memang tak ada habisnya, namun yang saya lakukan kali ini bukan untuk membela diri menjadi benar, tidak sama sekali.
Pengertian apatis sendiri memang diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap suatu permasalahan atau kejadian yang sedang terjadi, misalnya harga cabai naik. Bahkan rasa nasionalisme memiliki hubungan kuat dengan kata apatis, jika seseorang dikatakan apatis terhadap negaranya sendiri, maka dia adalah seseorang yang tidak peduli pada segala sesuatu yang menyangkut permasalahan masyarakat dan negaranya terutama dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik.
"Jadi apakah saya rela dikatakan apatis begitu saja?"
Jelas tidak! Meskipun kata apatis tersebut belum tentu ditunjukan kepada saya, namun sebagai mahasiswa alay, jelas saya akan menolak dikatakan sebagai orang yang apatis. Sama seperti cara menikmati cita rasa kopi yang beragam, semua orang pun punya caranya sendiri dalam menunjukan rasa kepeduliannya.Â
Ada yang teriak sekencang-kencangnya menuntut kesejahteraan dan keadilan pakai toa, ada yang tiup balon eh salah tiup peluit prit praaaat prit, ada yang membuka forum diskusi sambil minum kopi, ada yang melakukan aksi (maaf) potong kepala ayam menutut pemerintahan yang mesti begini begitu, ada juga yang terjun langsung membenahi permasalahan tanpa basa basi. Lah selain itu ada lagi gak ? Ada, banyak !!
Karena apatis adalah kurangnya emosi, motivasi dan rasa antusiasme, bukan kurangnya citra di depan mata orang banyak. Siapa sangka dengan seseorang yang kegiatannya hanya belajar, memenuhi daftar kehadiran hampir 100 persen, mengejar predikat cum laude, dan kerjaannya cuma kuliah terus pulang atau main, tanpa minat mengikuti beberapa kegiatan organisasi yang menuntut kesejahteraan dan keadilan, ternyata diam-diam dia pun memiliki harapan, rencana dan usaha yang sama dengan mereka yang mati-matian berjuang menyuarakan kesejahteraan dan keadilan.