Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berita Hoaks, Ujaran Kebencian dan Grup WhatsApp

12 Desember 2017   09:53 Diperbarui: 12 Desember 2017   10:16 2553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.chronicle.co.zw

Tenang saja, tulisan ini tak ada maksud mencoreng atau upaya untuk menjatuhkan keberadaan aplikasi WhatsApp. Sama sekali tidak ada unsur-unsur tersebut ya.

Apabila dulu banyak orang yang menanyakan pin BBM untuk menjalin percakapan, namun seiring berjalannya waktu serta kebutuhan interaksi secara online semakin tinggi, akhir-akhir ini justru saya semakin sering diminta no WA daripada pin BBM.

 Tetap saja, saya enggan memasang aplikasi tersebut, bahkan saya rela tak masuk group WA kelas dan mungkin saya adalah mahasiswa satu-satunya di kelas yang tak mengerti percakapan di group tersebut ketika mereka bahas kembali di dalam kelas. Hingga pada akhirnya ada suatu kegiatan yang memaksa saya memasang aplikasi WA agar tak ketinggalan informasi. 

Dan jreeeeng, perlahan-lahan contact dan group di WA saya semakin ramai, mulai dari group keluarga, group kelas, group kegiatan tertentu, sampai pada group rumpi no secret. Saya juga semakin mengerti menggunakan fitur-fitur di aplikasi tersebut lho. Malah akhir-akhir ini saya baru tahu kalau kita saling save nomor maka akan ada fitur "Status" yang bisa dilihat layaknya fitur instastory dalam instagram, hehee norak.

Uniknya dalam menggunakan aplikasi tersebut adalah saya lebih sering mendapatkan pesan secara kelompok (group) dibandingkan secara pribadi. Mulai dari informasi seperti perubahan jadwal mata kuliah sampai pada percakapan-percakapan diluar nama group atau tujuan group tersebut dibuat, dan yang pasti bakal bikin ramai HP kalau tak mengaktifkan mode mute. Tapi, mau semakin tak jelas atau seramai apapun percakapan di group WA bukan lah masalah bagi saya, selama masih pada batasnya.

Nah, yang menjadi masalah bagi saya adalah ketika beberapa anggota group usil atau tanpa berpikir panjang dengan mudahnya menyebarkan tulisan-tulisan yang tak terbukti kebenarannya alias "HOAX". 

Jangankan yang butuh pembuktian, bahkan tulisan hoax yang tak perlu dibuktikan kepalsuannya saja masih sering disebar-sebar layaknya lembaran keredit motor tanpa DP. Belum selesai di satu group , sudah dapat lagi tulisan yang sama dari group lainnya. 

Hal seperti itu sangat meresahkan beberapa pengguna media sosial. Apalagi kebanyakan mereka adalah ibu-ibu rumah tangga yang kelebihan waktu bersantai selepas memasak atau menjemur pakaian di rumah. Bukan maksud membedakan atau mengklasifikasikan sudut pandang, tapi pada kenyataannya mereka lah sasaran paling mudah untuk dibuat resah dan mempercayai berita-berita hoax yang selanjutnya menjadi sasaran utama untuk menyebar luaskan.

Belum selesai berita hoax tentang Dokter palsu yang menyebarkan virus AIDS melalui alat suntik, datang lagi video viral tentang sel kanker yang menjauh ketika didekatkan dengan bawang putih. 

Lucunya lagi minggu kemarin dosen saya cerita kalau beliau mendapatkan berita tentang bahayanya meniup lilin, dan baru-baru ini juga saya kembali mendapatkan pesan yang didaur ulang, yaitu akan adanya aksi pembakaran kitab suci yang dilakukan oleh salah seorang pemimpin negara menyangkut permasalahan yang lagi heboh-hebohnya saat ini. Wew.

Berita hoax dan ujaran kebencian pun sebenarnya memiliki keterkaitan satu sama lain yang biasanya adalah satu paket dalam sebuah tulisan, meski tak semua berita hoax berisikan ujaran kebencian atau hate speech. Sama seperti berita hoax, ujaran kebencian juga sering kali disebar kesana kemari dalam group WA.  

Kalau jaman dulu orang harus sembunyi-sembunyi di tempat gelap untuk menuliskan ujaran kebencian di tembok atau mobil korban (pengalaman keluarga), maka jaman sekarang cukup dengan copy paste tulisan atau simpan gambar, kemudian sebarkan di group WA sebanyak - banyaknya. Bahkan tak usah malu-malu dengan identitas diri sendiri. 

Tak peduli bagaimana perasaan yang membaca ujaran kebencian tersebut. Si pelaku sepertinya akan memukul rata bahwa seluruh anggota group yang dituju adalah sependapat dengannya, atau memang sengaja dituju kepada anggota yang dianggap berbeda. 

Seperti ada kepuasan dalam diri setelah menyebarkan ujaran kebencian, malah semakin percaya diri ketika ada anggota group yang sependapat dan menanggapi tulisan tersebut. Herannya lagi adalah mereka seperti tak sadar dengan apa yang dilakukan bagaikan menelanjangi diri sendiri. Saya pernah merasa risih dengan kelakuan beberapa anggota group yang kerap kali menyebarkan tulisan dengan memancing perselisihan, yang tak lain dan tak bukan tulisan itu adalah berbau rasis. 

Seperti tulisan hoax dan ujaran kebencian yang pernah saya baca dari teman sendiri. Dengan memanfaatkan aksi yang berjilid - jilid, ada pesan berantai yang menghimbau bahwa mahasiswa yang non muslim dan berwajah tionghoa sebaiknya jangan keluar kost-kostn karena akan ada aksi penculikan yang dilakukan organisasi islam garis keras. 

Beberapa bulan lalu pun, dengan membawa isu PKI, ada pesan berantai juga yang mengatakan beberapa tokoh penting akan diculik oleh antek-antek PKI berwajah china, dibarengi dengan bejubel tulisan yang memancing perpecahan.

Hubungan pertemanan yang mulanya baik-baik saja bisa berujung pada rasa tak saling respek akibat tulisan yang tak ada artinya sama sekali. Ah tulisan tak ada artinya bagaimana maksudnya ? jelas tulisan seperti itu ada artinya dengan niat baik sebagai pemersatu. 

Duuuh, tulisan baik dari hongkong !!! bukankah kita tahu kalau niat baik pastinya harus disampaikan dengan cara yang baik juga. Sudah saatnya Indonesia untuk berbenah diri mengatasi Berita hoax dan Ujaran kebencian yang semakin banyak disebar dalam Group WhatsApp dan media sosial lainnya. 

Jika di Malaysia sudah membuat aturan ketat untuk menghentikan laju hoax dengan ancaman penjara bagi Admin yang membiarkan tulisan palsu beredar di group WhatsApp dan media sosial lainnya. Kapan Indonesia benar-benar akan bersikap tegas ? karena hal ini sama seperti peredaran narkoba. Jika yang dihentikan hanyalah bandarnya saja, itu sama saja membuka peluang bagi orang lain untuk menjadi bandar selanjutnya dalam bisnis haram tersebut. 

Tapi beda cerita dengan menghentikan dan menyadarkan para pengguna sebagai target utama, maka obat terlarang pun besar kemungkinan akan sepi peminatnya. Berita hoax dan ujaran kebencian pun sama seperti itu. 

Jika dengan memutus laju peredarannya maka tulisan-tulisan rombeng seperti itu pun semakin tak diminati oleh masyarakat. Sebab masyarakat sudah semakin pintar dan jeli memilih tulisan - tulisan berkualitas dan sudah terbukti kebenarannya. Akhir kata saya ucapkan terimakasih dan salam damai untuk Negeriku tercinta.

Tangerang, 12 Desember 2017
Diana.





Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun