Mohon tunggu...
Diana Lieur
Diana Lieur Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma orang biasa

No matter what we breed; "We still are made of greed"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Kekerasan Anak dan Wanita terjadi, Tetangga Juga Serba Salah

4 Januari 2017   15:22 Diperbarui: 4 Januari 2017   19:31 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://tabloidnova.com

Pernah dengar tentang seorang anak yang dipukuli tangannya oleh ayahnya karena membuat goresan pada mobil si ayah? jika tidak dilihat dari sisi pelakunya yang masih anak-anak memang kejadian tersebut bisa dipermasalahkan. Nah beda cerita dengan mantan tetanggaku, mereka sering sekali membuat hal-hal kecil menjadi masalah yang menimbulkan keributan.

Contohnya ketika anak mereka belum mandi di sore hari padahal sang ayah akan segera pulang kerja atau sepulang ayahnya bekerja si anak belum juga mandi, tak tanggung-tanggung sendal atau tangan kosong orang tuanya akan meluncur. 

Peran tetangga dalam kejadian kekerasan anak dan wanita

Kemudian apa yang dilakukan tetangga lain termasuk keluargaku ketika melihat kejadian tersebut? Ya di sinilah peran tetangga menjadi serba membingungkan alias dilema. Aku dan keluarga hanya bisa mengintip dibalik jendela rumah saja, itu juga kalau orang tua ku kecolongan mengawasi ku karena biasanya aku dilarang melihat keributan mereka.

Jadi sebagai tetangga apakah keluargaku dan tetangga sekitar tak merasa peduli melihat kejadian itu ? jelas peduli, namun pada kenyataanya menunjukan rasa kepedulian tidaklah semudah layaknya mengintip kejadian tersebut dibalik jendela rumah. Karena banyak orang menganggap kejadian tersebut adalah aib dalam keluarga jadi tak perlu lah ikut campur dalam permasalahan keluarga orang lain, begitu kiranya pemikiran banyak orang.

Lantas bagaimana cara mengakhiri kasus kekerasan terhadap anak dan wanita jika dari orang terdekat pun enggan menunjukan rasa kepeduliannya?. Ya kurang lebih aku berpendapat seperti ini: 

1. Mengendalikan tingkat emosional 

Pada kenyataanya kasus kekerasan terhadap anak dan wanita bisa terjadi pada setiap keluarga dengan tingkat sosial dan ekonomi yang rendah, menengah maupun tinggi. Tak peduli apa pekerjaanya, bagaimana kondisi keuangannya atau bagaimana dia ketika berinteraksi dengan orang lain, seseorang bisa saja tak dapat mengendalikan tingkat emosionalnya terhadap keluarganya. Seseorang yang memiliki tingkat emosional yang tinggi belum tentu akan menunjukannya pada teman atau orang lain yang bukan keluarganya, dia bisa saja dianggap baik oleh teman atau tetangganya sekalipun tetangganya membuat kesalahan. 

Namun beda cerita apabila salah seorang keluarganya membuat kesalahan atau terlibat dalam permasalahan. Contoh sederhananya adalah ketika seorang anak terlibat dalam perkelahian kemudian si orang tua langsung terbawa emosi untuk memarahi sembari memukuli anaknya, padahal bisa jadi anaknya bukanlah pihak yang disalahkan dalam perkelahian. Jadi mengdalikan tingkat emosional terhadap kesalahan anggota keluarga sangatlah perlu untuk dijaga.

2. Dimulai dari diri sendiri

Untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak dan wanita setidaknya dapat dimulai dengan menghindarinya. Lah kok menghindarinya sih, emang penyakit apa harus dihindari ? wah wah aku orang baik - baik lho. Hemmm memang banyak orang dengan percaya dirinya menyatakan kalau mereka adalah orang baik - baik, tapi pada kenyataannya aku, kamu, kalian yang membaca tulisan ini, mbak dan mas admin kompasiana, teman-temanku dan bahkan semua orang pasti memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga kelak. Kelak aku bisa saja menjadi sosok orang tua yang memperlakukan anakku secara kasar (Jangan sampai), karena masa depan seseorang siapa yang tahu kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun