Fenomena hustle culture belakangan ini marak menjadi perbincangan hangat di media sosial.Â
Pasalnya, di era society 5.0 dengan perkembangan teknologi yang kiat melesat, membuat tidak sedikit anak muda terutama para mahasiswa, berlomba-lomba menyibukkan diri secara berlebihan tanpa memedulikan waktu istirahat atau kesehatan mental.Â
Anggapan bahwa semakin banyak jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja, maka semakin pula mendekatkan diri kepada kesuksesaan, seolah menjadi tolak ukur keberhasilan di masa depan.Â
Selain itu, mereka yang terjerat oleh budaya ini cenderung mengutamakan produktivitas dibanding diri sendiri serta hubungan dengan orang lain.Â
Mirisnya lagi, mereka tidak sepenuhnya menyadari bahwa produktivitas berlebihan tersebut mampu berdampak besar bagi kesehatan mental bahkan bisa merusak masa depan serta hubungan bersama orang sosial.
Lantas, apa itu hustle culture?
Hustle culture merupakan budaya toksik yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti secara terus menerus.Â
Fenomena hustle culture tersebut menyebabkan banyak mahasiswa Indonesia yang merasa bangga jika terlihat paling sibuk dengan serangkaian kegiatan di luar akademik.Â
Pengaruh media sosial yang acapkali memamerkan pencapaian influencer berupa seabrek sertifikat organisasi, magang, dan kepanitiaan turut memicu semangat mahasiswa untuk berlomba-lomba mengumpulkan sertifikat sekaligus pengalaman demi menunjang curicculum vitae.Â
Ciri-ciri orang yang menganut hustle culture dapat dengan mudah kita amati. Di antara lain: sering mengalami burnout atau kelelahan dalam bekerja, merasa bersalah ketika sedang bersantai, serta selalu memikirkan pekerjaan hingga berpikir tidak memilik waktu istirahat sama sekali.Â
Fenomena semacam ini, seringkali kita jumpai tidak hanya pada pekerja saja, tetapi juga mahasiwa serta pelajar.Â