Itulah Kenapa Aku Tidak Mau Jadi Pejabat
Istirahat siang, sekitar jam 12.30. seperti biasa, kami berkumpul di ruang guru tim kami.
Hari panas, tapi badan kami masih bisa menerima kondisi tersebut, meskipun di ruangan itu tidak ada AC. Hanya sebuah kipas angin di atas, yang setia menemani kami.
Dinda seperti biasa, mampir ke ruang guru tim kami hanya untuk ikut istirahat sejenak, atau minum kopi sedikit, atau mencicipi makanan yang ada di situ. Dan seperti biasanya, sekarang, dia sedang ikut merebahkan setengah badannya sejenak, di meja kerjanya Liyana.Â
Liyana berbaring di tikar sambil memainkan gawainya. Halima Sedang duduk tegak di kursinya, juga sedang memainkan gawainya. Pun dengan Nisa, dia duduk di kursinya, memainkan gawainya, hanya kakinya diangkat ke atas kursinya, sehingga ia duduk bersila di atas kursi. Hanya aku yang duduk tegak, memeriksa dan mencatat penjualan jenang nanas di kertas-kertas yang ada di mejaku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, "Haloo..Pak, selamat siang. Baik..baik..minta dikirim lagi..25 dus ya, baik, baik.." teleponku. Yang menelepon adalah pada Pak Anton, bagian pemasaran toko roti Panggangan Emas. Salah satu toko yang kami menitipkan produk kami di toko tersebut.
"Cie..yang sekarang jadi pejabat!" goda Dinda sambil bangkit dari rebahannya, lalu merebahkan badannya lagi.
Halima dan Liyana diam, tidak menanggapi. Hanya Nisa yang tersenyam-senyum sambil melihat ke arahku.
Aku mau mengatakan sesuatu, untuk membela diri dari godaan Dinda, tapi kuurungkan niatku.
"Pak Anton ganteng lho Nis!" Kataku.
"Oh ya? Waduh, Mba Alia!" Kata Nisa sambil tersenyum-senyum.
"Hemm. Tipe pekerja kantoran lah!" kataku lagi.
"Waduh, waduh, ingat suami Mba!" kata Nisa lagi.
"Biarin Nis, dia cuma mengalihkan pembicaraan!" kata Dinda lagi tapi masih merebahkan badannya.
"Oh ya?" tanya Nisa sambil menatap Dinda sambil tersenyum.
"Iyalah! Dia kan pejabat sekarang. Oh ya, pas rapat kemarin kamu juga dicari pemimpin sekolah lho, Alia. Biasa mau dipamerkan ke peserta rapat!" kata Dinda lagi.
"Oh ya, terus gimana?" tanyaku sambil tersenyum menetap Dinda, karena dari tadi dia bicara, tapi dia tetap merebahkan badannya di meja kerjanya Liyana.
"Ya sudah, gitu saja." kata Dinda lagi.
"Aku tidak terbiasa jadi orang penting sih ya..." kataku nyengir, asam.
"Yah, nikmatilah!" kata Dinda lagi. "Kamu kemarin juga diajak study banding ke luar kota kan, hari Sabtu-Minggu?" tanya Dinda lagi yang masih sambil merebahkan badannya, tapi seolah-olah tahu segalanya.
"Iyaa..." kataku.
"Siapa saja yang diajak?" tanya Dinda lagi.
"Aku, bos satu, ya para pejabat itu lah ya, beserta anak buahnya, termasuk Akram."
"Hmm..jadi dari tim ini yang diajak cuma kamu sama bos satu? Asisten bos nggak diajak?"
"Nggak."
"Hmm.. sepertinya..sepertinya..!" kata Dinda lagi.
"Sepertinya apa?" tanya Halima sambil tersenyum, menoleh ke arah Dinda sejenak.
"Ya..gitulah!" Kata Dinda.
Liyana yang sepertinya tidak tidur, masih memainkan gawainya, tidak terpengaruh obrolan kami.
Hanya Nisa yang berada di tengah, di antara aku dan Dinda, yang sebenarnya juga sedang memainkan gawainya, tapi menyempatkan diri untuk bolak-balik menanggapi obrolan kami dengan tersenyum.
Hening. Dan aku bingung mau melanjutkan apa obrolan itu.
"Liyana, jam kamu boleh kuminta atau tidak, buat produksi jenang?" tanyaku sambil melongokkan badanku, menatap Liyana.
"Hmm..pakai aja! Kebetulan malah! Aku bisa istirahat sejenak!" kata Liyana.
"Aku dong!" kata Halima sambil menengok ke arahku.Â
"Asiiapp...nanti kalau aku produksi lagi ya! Soalnya siswa-siswa yang kudidik, ada tiga kelas, masing-masing hampir sudah lima kali produksi." kataku.
"Aku juga Mba..!" kata Nisa.
"Siap, siap!" Kataku tersenyum sumringah.
"Jamku sekalian itu, dipakai buat produksi!" kata Dinda yang masih merebahkan setengah badannya, seolah mengigau di tengah tidurnya.
"Nggak mau..jam kamu terlalu pendek. Nanti siswa baru menimbang bahan, udah ganti jam mata pelajaran lain." kataku.
Hening sejenak lagi.
"Nisa, menurut Nisa, Wilis kalau dimintai tolong untuk melakukan pembukuan keuangan, kira-kira mau atau tidak ya?" tanyaku pada Nisa lagi.
"Mau lah Mba, bilang aja!" kata Nisa.
"Siap, nanti kuhubungi. Ini semua transaksi kucatat sih, tapi kan aku bukan ahli pembukuan keuangan, jadi berantakan. Jadi mending kuserahkan Wilis yang ahli kan?"
"Ya, bener banget Mba!"
Hening lagi.
Tapi ada pesan masuk ke WhatsApp-ku.Â
"Gaiss, lusa ada kunjungan dari cabang dinas. Jadi kita diminta untuk menyiapkan produk unggulan kita. Oke Halima, jam kamu kupakai untuk produksi jenang lagi ya?" tanyaku.
"Asiik...siap!" kata Halima sambil tersenyum menatapku.
"Lho, sedang pada kumpul di sini ternyata?" tanya Bu Rosa, salah satu guru sekaligus pejabat senior, yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu ruang guru tim kami.
Dinda dan Liyana langsung bangun. Nisa juga segera menurunkan kakinya.Â
"Iya Bu." jawab Dinda. Dinda sendiri langsung berdiri dan mempersilakan Bu Rosa untuk duduk di kursinya Liyana. Ia sendiri gabung Liyana duduk di bawah.
"Kebetulan kalau sedang berkumpul kalau begitu. Baru saja saya dapat info, bahwa dua minggu lagi, hari Jumat-Sabtu-Minggu nanti akan ada pameran di sekolah kita, karena sekolah kita ditunjuk sebagai tempat pembukaan lomba. Nah, untuk itu, mohon teman-teman siapkan produk unggulan kita ya.Â
Semua produk dibuat. Dan dalam jumlah besar, karena untuk tiga hari. Produk itu selain untuk dijual, juga untuk tamu-tamu undangan. Bagaimana, siap ya?" kata bu Rosa.
Kami semua bengong.Â
"Lah, pemimpin gimana Bu?" tanya Liyana akhirnya.
"Pemimpin tidak mau. Tidak ada tenaga katanya." Kata Bu Rosa lagi.
Kami diam lagi, masih bingung merespon apa.
"Ya? Siap ya? Karena tidak mungkin kita sebagai tuan rumah tidak ikut pameran dan tidak menjamu tamu." kata bu Rosa lagi.
Setelah hening beberapa saat lagi, akhirnya kami mengangguk-angguk. "Baik Bu!" kata kami.
"Jadi, produk apa saja yang harus kami siapkan?"Â
"Sebenarnya semua produk unggulan. Mengenai jumlahnya, tidak ada ketentuan. Tapi coba begini saja. Anggap saja setiap hari ada 100 tamu, kali tiga hari, berarti membuat corn drink sekitar 500 cup, jenang nanas sekitar 300-an dudus, kue pastri sekitar 500 biji, sari buah juga disiapkan sekitar 500 cup. Gitu ya?"
Kami semua masih bengong lagi.
"Ya, siap ya? Selain itu, ambillah produk-produk dari luar untuk meramaikan stand kita! Alia, minta tolong teman-temannya dikoordinatori ya!" kata Bu Rosa lagi.
"Ha..?" tanyaku kaget. "Siap Bu!" kataku akhirnya, lemah
Hening, tapi akhirnya kami mengangguk-anggukkan kepala kami lagi.
Bu Rosa pun berlalu, setelah bolak-balik berpesan untuk siap dan mengucapkan trima kasih.
"Haha..selamat ya!" kata Dinda.
"Kamu, harus bantuin! Awas kalau tidak bantuin! Nisa, ajak Wilis untuk bantu kita!" kata Liyana.
"Siap Mba!" kata Nisa.
"Aku bantuin nggak ya..?" kata Dinda menggoda.
"Hmm..." komentar Liyana.
"Kerja lagi, kerja lagi!" kata Halima.
"Siswa diajak bikin produk puluhan saja lama, tidak bisa membayangkan diajak membuat produk ratusan." kata Liyana.
"Eh, bukannya kamu pembimbing salah satu lomba yang dimaksud, Alia?" tanya Dinda, seolah-olah baru ingat sesuatu.
"Iya." jawabku lemah.
"Pekerjaan kamu tambah berlipat ganda dong! Mempersiapkan pesanan dari toko, mempersiapkan produk untuk kunjungan dari dinas, mempersiapkan lomba, juga mempersiapkan pameran." kata Dinda lagi.
"Iya." kataku lagi, masih sambil merenung dan menerawang lemah.
"Mba Alia ini, emang strong banget!" kata Nisa sambil tersenyum, menatapku.Â
Aku sendiri sudah tidak punya tenaga untuk menanggapi kata-kata Nisa.
"Dasar nasib rakyat jelata. Tidak bisa menolak perintah." kata Liyana. "Beda dengan bos berdua itu, kalau mereka ingin menolak, ya bisa menolak!" kata Liyana lagi.
"Sudah, tidak apa-apa. Ada Alia ini. Semoga nanti ada uang lelah yang lebih adil untuk kalian. Alia kan pejabat baru, ya kan Alia?" tanya Dinda, sambil mengerlingkan matanya ke arahku.
Aku menatap Dinda, tapi diam tidak menanggapi. Aku lalu menunduk. Aku sendiri pejabat, baru, tapi tidak bisa serta-merta menolak ketika diberi tugas berat oleh sekolah. Tugas berat? Ya, karena sudah terbayang kelelahan dan lembur berkepanjangan yang akan dialami olehku dan teman-temanku. Lelah lembur mengatur siswa bekerja. Lelah lembur menjaga semangat siswa, yang kalau sudah akhir-akhir, mereka akan kabur satu-persatu. Lelah lembur membersihkan ruangan dan segala sesuatu setelahnya, karena itu tadi, semakin lama siswa diajak bekerja, semakin sedikit jumlah mereka, sehingga semakin sedikit yang mau diajak bersih-bersih.Â
Dan, kok aku merasa, ini sedikit ada salahku ya? Aku jadi merepotkan teman-temanku karena aku jadi pejabat ya?Â
Aduh, mana mereka menyinggung uang lelah lagi. Ya kalau pihak sekolah memberi uang lelah? Kalau gratisan seperti biasanya?
Pekerjaanku sendiri sudah menumpuk, seperti yang dikatakan Dinda tadi. Mempersiapkan pesanan, mempersiapkan lomba, dan sekarang mempersiapkan sekaligus mengoordinatori pameran.
Ah, itulah kenapa aku tidak mau jadi pejabat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H