"Mba Alia ini, emang strong banget!" kata Nisa sambil tersenyum, menatapku.Â
Aku sendiri sudah tidak punya tenaga untuk menanggapi kata-kata Nisa.
"Dasar nasib rakyat jelata. Tidak bisa menolak perintah." kata Liyana. "Beda dengan bos berdua itu, kalau mereka ingin menolak, ya bisa menolak!" kata Liyana lagi.
"Sudah, tidak apa-apa. Ada Alia ini. Semoga nanti ada uang lelah yang lebih adil untuk kalian. Alia kan pejabat baru, ya kan Alia?" tanya Dinda, sambil mengerlingkan matanya ke arahku.
Aku menatap Dinda, tapi diam tidak menanggapi. Aku lalu menunduk. Aku sendiri pejabat, baru, tapi tidak bisa serta-merta menolak ketika diberi tugas berat oleh sekolah. Tugas berat? Ya, karena sudah terbayang kelelahan dan lembur berkepanjangan yang akan dialami olehku dan teman-temanku. Lelah lembur mengatur siswa bekerja. Lelah lembur menjaga semangat siswa, yang kalau sudah akhir-akhir, mereka akan kabur satu-persatu. Lelah lembur membersihkan ruangan dan segala sesuatu setelahnya, karena itu tadi, semakin lama siswa diajak bekerja, semakin sedikit jumlah mereka, sehingga semakin sedikit yang mau diajak bersih-bersih.Â
Dan, kok aku merasa, ini sedikit ada salahku ya? Aku jadi merepotkan teman-temanku karena aku jadi pejabat ya?Â
Aduh, mana mereka menyinggung uang lelah lagi. Ya kalau pihak sekolah memberi uang lelah? Kalau gratisan seperti biasanya?
Pekerjaanku sendiri sudah menumpuk, seperti yang dikatakan Dinda tadi. Mempersiapkan pesanan, mempersiapkan lomba, dan sekarang mempersiapkan sekaligus mengoordinatori pameran.
Ah, itulah kenapa aku tidak mau jadi pejabat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H