Baru sebulan lalu, salah satu teman mengunduh semua serial sandiwara radio Saur Sepuh. Saya yang berada di dekat meja kerjanya tentu mendengar apa yang dia dengarkan. Jujur saja, saat itu saya sangat terusik. Saya lebih menyukai mendengar musik daripada ikut mendengar apa yang dia dengarkan.
Sayangnya, dia lebih senior daripada saya. Dengan mendem,saya matikan saja musik, dan ikut mendengarkan serial radio itu. Saya mencoba mengikuti sepotong dialog. Dan ternyata, tidak butuh waktu lama, suara drama radio yang pernah populer di tahun 90-an itu membuat saya terpikat.
Pekerjaan yang menumpuk sedikit terabaikan. Saya menggeser badan, dan memfokuskan pendengaran. Luar biasa, secara tidak sadar saya berimajinasi. Suara Maisin, terbayang sosok perempuan cantik dan lembut. Karakter suaranya membuat saya bisa terlibat dalam cerita. Tidak pikir panjang saya meminta semua serial yang diunduh itu.
Sandiwara radio itu mengingatkan kembali saat saya masih kecil dulu. Begitu populernya, hingga hampir semua orang pada masa itu tahu jalan ceritanya. Semua orang juga menjadi pendengar setia radio. Bahkan, ada yang hampir tidak pernah menggeser salurannya.
Saat itu, saya masih sangat kecil. Hanya sekelebatan saja yang muncul saat teman kerja mengingatkannya kembali sebulan yang lalu. Saya pun tertarik untuk mencari apa yang terjadi dengan sejarah perkembangan radio.
Saya menemukan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Salah satu refrensi yang saya temukan adalah buku berjudul Jurnalistik Radio – Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Buku ini karangan dari Masduki tahun 2001, terbitan LKiS. Dalam paparannya, ternyata radio sama seperti media lainnya saat pemerintahan Soeharto. Dimana saat itu pembatasan radio begitu ketat. Setiap hari harus menyiarkan 14 kali berita dari pemerintah. Stasiun radio swasta dan komunitas tidak diperkenankan memproduksi berita sendiri. Independensi mereka pun terebut.
Berita hanya menjadi pelengkap dari hiburan-hiburan yang diperdengarkan di radio. Padahal radio bersifat lokal dan faktual. Jika hanya mencomot berita dari pemerintah, tentunya yang didengarkan hanya seputar berita-berita nasional yang jauh dari tempat para pendengar. Itupun berita-berita pesanan untuk meninabobokan masyarakat saja.
Makanya, saat reformasi, terjadi euforia media, termasuk juga radio. Semua media seolah bebas mengekspresikan diri. Idealisme media terlahir kembali. Tumbuh semangat untuk membangun demokrasi.
Muncul radio-radio swasta dan komunitas mempunyai beritanya sendiri. Berita-berita tersebut menginformasikan lokalitas yang sangat dekat dengan pendengarnya. Bahkan, para pendengar juga bisa berinteraksi secara langsung. Jika ada suatu isu yang berpotensi mengganggu kenyamanan masyarakat akan cepat ditanggapi dengan berbagai cara. Liputan secara langsung, diskusi publik, dan berbagai tanggapan langsung dari masyarakat.
Sifatnya yang faktual, langsung, dan tanpa jeda, membuat radio menjadi media penyampai informasi tercepat. Lebih cepat daripada media sosial yang saat ini begitu booming. Lebih-lebih dalam lokalitas, dimana radio adalah juaranya.
Era reformasi tersebut memberikan gambaran kuat bahwa radio sangat penting untuk pemerataan kemajuan daerah. Dimana akses tersebut masih belum bisa dijangkau oleh televisi dan internet. Yang masih banyak berkutat pada informasi di kota besar saja.