Sluuurrrrpp.. kuteguk Moccacino-ku yang mulai dingin di malam ini. Ketika jemari menyentuh tuts demi tuts si Aspire, hati mulai tidak karuan. Yach.. perasaan senang, sedih, bahagia, dan lain-lain terasa benar mengaduk batin ini. Mulai menulis judul coretan ini pun sudah membuat bulu kudukku merinding. Satu tambah satu sama dengan satu, weitz.. jangan disamakan dengan setangkup obat nyamuk bakar, sepasang sandal atau sepatu, atau hal lain dimana satu unit benda terdiri dari dua unsur yang melengkapi. Tapi ini lain sahabat.. ini adalah Matematika Perkawinan, dimana pria dan wanita melebur menjadi satu unit keluarga.. Saling melengkapi dan menguatkan.. mendukung dan menghargai.. memahami dan dipahami.. dan seterusnya. Bandingkan dengan matematika pada umumnya dimana sampai kiamatpun bilangan satu tambah satu pasti akan sama dengan dua..
Aku melirik hape di atas meja yang masih menyala. Ada satu pesan yang baru saja kubaca dan karena sedikit shock maka kubiarkan dulu sejenak.. berharap segera hilang dan tidak benar. Apa pasal? Karena kabar adik tingkatku di Singkawang yang akan mengakhiri masa lajangnya di awal tahun ini. Ahay.. kebalap lagi dech diriku. Padahal setahun saat kukunjungi di penghujung 2010 kemarin dia masih jomblo.. sama seperti diriku.. Hemh, rupanya dia benar-benar siap untuk ini, itu kutahu setelah ber-sms ria dengannya..
Sudahlah lupakan sekelumit cerita itu.. aku ingin sedikit merefleksikan Matematika Perkawinan yang dengan mulusnya kujadikan judul dari coretan ini. Orang boleh berkata bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral, agung, bla bla bla dan seterusnya. Tapi karena aku tak mampu bicara mengenai hal itu, aku hanya ingin bicara sebuah perkawinan dari sudut ilmu matematika. Tapi karena matematika juga terlalu luas maka aku hanya ingin mengungkapnya dari tiga istilah yang dijumpai dalam bidang ilmu pasti tersebut..
Pertama, perkawinan penuh dengan aritmetika atau ilmu hitung dasar. Di dalamnya sungguh banyak fase penambahan, pengurangan, pembagian, ataupun perkalian. Kenapa? Menikah berarti menambahkan satu keluarga pria dengan keluarga wanita. Penambahan sifat antar pasangan yang diharapkan dapat saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Ada pengurangan ego agar tidak berbenturan dengan ego pasangannya. Selain itu kepentingan pribadi juga harus dikurangi guna mengutamakan kepentingan keluarga di atas segalanya. Ditemukan juga pembagian fungsi dalam keluarga yang dibentuk dimana masing-masing diharapkan memiliki peran yang hendaknya dilaksanakan dengan tulus dan sepenuh hati semantab pengucapan ikrar perkawinan. Terakhir ada perkalian dalam bahtera yang dijalani. Perkalian seperti apa? Tentu saja maksudku adalah adanya kebutuhan yang lebih besar dari kebutuhan saat hidup sendiri. Biaya makan, biaya jalan-jalan, belanja bulanan, dan sejenisnya menjadi dua kali lipat atau lebih seiring bertambahnya anggota keluarga (baca : memiliki buah hati).
Kedua, karena penuh dengan aritmetika maka perkawinan juga harus memiliki aksioma. Aksioma di sini berarti titik awal untuk mendasari kemana keluarga tersebut akan dibawa (mirip lirik lagunya salah satu band lokal). Titik awal atau pondasi pokok keluarga sebenarnya bisa diurai dari kata demi kata saat berikrar di depan altar ataupun penghulu. Intinya adalah kesediaan untuk menjadikan pasangan sebagai belahan jiwa yang akan dijaga sampai mati. Memang ini tak berlaku untuk mereka yang bercerai tetapi rasanya mustahil ada aksioma perceraian yang akan dituju oleh dua insan lain jenis yang menikah bukan? Aksioma perkawinan merupakan hal sakral yang akan terus dipegang oleh pasangan dalam menapaki hari-hari selanjutnya setelah resepsi pernikahan usai.. Di rumah berdua, makan bareng, bobo bareng, dan.. (isi sendiri aja ya..)
Ketiga, dengan aksioma yang telah ditentukan, mereka yang menikah harus sudah siap untuk melakukan ekstrapolasi perkawinan. Sesuai dengan istilahnya berarti suami istri harus mampu memperkirakan kejadian demi kejadian yang akan dihadapi dan bagaimana mengatasinya agar tetap dalam aksioma yang ditetapkan. Perkiraan demi perkiraan selalu akan dilakukan berdasarkan dari buku-buku, cerita teman, atau nasehat orang tua agar tidak ’kaget’ dalam melangkah. Apa contohnya? Misal bagaimana menghadapi famili yang berhutang padahal kita sedang tidak berkecukupan sehingga penolakan kita tidak menyakitkan hatinya. Menghitung biaya pemakaian listrik dan air di bulan depan berdasarkan pemakaian sekarang plus isu yang berkembang misal kenaikan tarif dasar listrik. Atau menghadapi kehamilan pertama yang begitu ditunggu sehingga si dedek selamat sampai menghirup nafas sama seperti bapak ibunya. Semuanya berdasarkan peristiwa-peristiwa sebelumnya atau pengalaman keluarga lain. Tentu saja setelah beberapa tahun menikah bisa diterapkan interpolasi atau penggabungan kejadian sebelum dan sesudahnya.
Hahaha.. ketawa sendiri aku setelah coretan ini selesai. Teori bangeeettt.. sebab aku belum pernah mengalami arti perkawinan. Tapi itulah.. ini hanya coretan si bocah galau yang kadang ngawur dan terlalu ngawur.. Percaya boleh, tidak percaya haram hukumnya.. hahaha.. mari segera menikah sahabat.. (bagi yang belum) dan rasakan indahnya matematika dalam perkawinan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H