Trend Flexing dan Image CraftingÂ
Fenomena flexing dan image crafting di Indonesia merupakan hal yang semakin umum terjadi di era digital. Dalam era media sosial, individu dengan mudah dapat membuat citra diri yang terlihat ideal dan sempurna di hadapan orang lain. Fenomena ini terutama terjadi pada individu yang ingin menunjukkan status sosial dan citra yang baik di masyarakat.
Flexing dan image crafting pada umumnya dilakukan melalui status update di media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan Twitter. Individu akan memamerkan barang-barang mewah, tempat-tempat yang terlihat eksotis, dan gaya hidup glamor. Mereka juga cenderung menggunakan filter dan editan foto untuk memperbaiki penampilan mereka. (Marwick, A. E. (2013)Â
Fenomena ini sering kali dianggap sebagai bentuk prestasi atau sukses dalam kehidupan, tetapi sebenarnya dapat menimbulkan tekanan sosial pada individu dan merugikan citra diri yang sebenarnya. Individu yang merasa terpaksa melakukan flexing dan image crafting pada akhirnya merasa tertekan untuk mempertahankan citra yang tercipta dan merasa takut jika citra diri yang sebenarnya terbongkar. (Marwick, A. E. (2013)Â
Namun, tidak semua orang yang melakukan flexing dan image crafting memiliki tujuan yang buruk. Beberapa orang mungkin melakukan hal tersebut untuk menginspirasi orang lain, berbagi pengalaman, atau memperlihatkan apa yang mereka nikmati dalam hidup.
Pada akhirnya, fenomena flexing dan image crafting di Indonesia adalah hasil dari pengaruh globalisasi dan teknologi yang semakin berkembang pesat. Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi dan pemahaman mengenai dampak psikologis dari penggunaan media sosial yang berlebihan dan seringkali tidak autentik.Â
Sebagai individu, kita perlu memahami bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup tidak selalu tergantung pada apa yang kita miliki atau tunjukkan kepada orang lain, tetapi lebih pada kepuasan diri dan keseimbangan hidup yang seimbang.
Â
Apa itu Flexing dan Image Crafting?
Image crafting dan flexing adalah dua istilah yang sering digunakan dalam konteks media sosial, di mana pengguna mencoba untuk memperbaiki atau membangun citra mereka di hadapan publik. Meskipun keduanya terdengar serupa, ada perbedaan yang signifikan antara keduanya.
Image crafting dapat diartikan sebagai usaha seseorang untuk memperbaiki citra atau image yang dimilikinya di mata orang lain. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengedit foto atau video, menulis caption yang menarik, atau mengunggah konten yang positif dan inspiratif. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan diri sebaik mungkin di hadapan publik dan meningkatkan kredibilitas serta popularitas di media sosial.
Sementara itu, flexing dapat diartikan sebagai tindakan seseorang untuk memperlihatkan kekayaan, keberhasilan, atau status sosialnya di hadapan publik. Flexing sering kali dilakukan dengan cara memposting foto atau video yang menampilkan barang-barang mahal, tempat-tempat eksklusif, atau prestasi yang luar biasa. Tujuannya adalah untuk membuat orang lain terkesan dan memberikan kesan bahwa dirinya lebih sukses atau lebih berharga daripada orang lain.
Meskipun keduanya berbeda, keduanya seringkali saling terkait. Misalnya, seseorang dapat menggunakan image crafting untuk membangun citra sebagai orang yang sukses dan kaya, atau sebaliknya, seseorang dapat melakukan flexing untuk memperkuat citra positif yang sudah dibangun sebelumnya melalui image crafting.
Namun, keduanya juga memiliki potensi untuk membawa dampak negatif jika dilakukan secara berlebihan atau tidak otentik. Misalnya, jika seseorang terlalu sering melakukan flexing dengan memamerkan kekayaan atau status sosialnya, orang lain mungkin akan melihatnya sebagai sombong dan tidak tulus. Di sisi lain, jika seseorang terlalu sering melakukan image crafting dengan cara mengedit foto atau video, orang lain mungkin akan meragukan keaslian citra yang dibangun.
Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial untuk memahami perbedaan antara image crafting dan flexing, dan menggunakan keduanya dengan bijak. Lebih baik fokus pada membangun citra yang autentik dan positif, yang didukung oleh prestasi atau kualitas pribadi yang sebenarnya, daripada terlalu mengandalkan image crafting atau flexing yang terkesan tidak tulus atau tidak otentik.
Selain itu, sebagai pengguna media sosial yang bertanggung jawab, kita juga harus ingat bahwa apa yang kita posting di media sosial dapat mempengaruhi citra kita di mata orang lain, baik secara positif maupun negatif. Oleh karena itu, sebelum memposting konten apa pun, penting untuk mempertimbangkan efeknya terhadap citra kita dan orang lain.
Dalam konteks bisnis atau branding, image crafting dan flexing juga dapat menjadi strategi pemasaran yang efektif. Namun, perlu diingat bahwa citra yang dibangun harus sesuai dengan nilai atau pesan yang ingin disampaikan. Kredibilitas dan kepercayaan pelanggan atau pengikut dapat rusak jika citra yang dibangun tidak sesuai dengan kenyataan atau tidak konsisten dengan nilai atau pesan yang ingin disampaikan.
Di sisi lain, sebagai konsumen, kita juga harus bijak dalam menilai citra yang ditampilkan oleh seseorang atau merek di media sosial. Jangan mudah terpancing oleh flexing yang terkesan berlebihan atau image crafting yang tidak autentik. Sebagai pengguna media sosial yang cerdas, kita harus mampu membedakan antara citra yang autentik dan positif dengan citra yang dibangun secara berlebihan atau tidak otentik.
Berdasarkan beberapa ahli, image crafting dan flexing adalah fenomena yang cukup umum di media sosial. Menurut Catherine Rottenberg, seorang profesor di Universitas Nottingham, image crafting dapat dianggap sebagai "tindakan sosial yang dirancang untuk meningkatkan citra diri seseorang dalam hubungannya dengan orang lain."
Sementara itu, flexing dapat dilihat sebagai bentuk konsumsi simbolis, di mana seseorang menggunakan barang-barang atau tanda-tanda tertentu untuk memperkuat status sosialnya dalam masyarakat. Menurut Tyler F. Stillman, seorang profesor di Universitas Southern Utah, flexing dapat membantu seseorang memperoleh pengakuan dan mengurangi ketidakpastian dalam hubungannya dengan orang lain.
Meskipun kedua konsep ini dapat memberikan manfaat dalam konteks tertentu, mereka juga memiliki potensi untuk membawa dampak negatif. Menurut Shira Gabriel, seorang profesor di Universitas Buffalo, image crafting yang terlalu berlebihan atau tidak otentik dapat memicu perasaan cemburu atau tidak nyaman pada orang lain, sementara flexing yang berlebihan dapat memicu perasaan iri atau tidak berharga pada orang lain.
Oleh karena itu, para ahli merekomendasikan agar kita menggunakan image crafting dan flexing dengan bijak, dan selalu mempertimbangkan efeknya terhadap citra diri dan orang lain. Dalam konteks bisnis atau branding, ahli merekomendasikan agar kita membangun citra yang autentik dan konsisten dengan nilai atau pesan yang ingin disampaikan, sementara sebagai konsumen, kita harus cerdas dalam menilai citra yang ditampilkan oleh orang lain atau merek di media sosial.
Kaitan Flexing dan Image Crafting terhadap Fenomena Feminisme Neoliberal
Catherine Rottenberg pada tahun 2018 membahas tentang fenomena feminisme neoliberal dan bagaimana citra perempuan di media sosial dapat menjadi bagian dari fenomena tersebut.
Dalam bukunya, Rottenberg (2018) membahas bagaimana dalam era neoliberalisme, feminisme cenderung dipahami sebagai serangkaian proyek individualis dan personalis yang bertujuan untuk memperbaiki citra diri individu. Citra perempuan di media sosial, menurutnya, seringkali dipakai untuk memperkuat posisi sosial dan memperbaiki citra diri individu, sekaligus memperkuat logika pasar dan konsumerisme.
Rottenberg juga membahas bagaimana dalam konteks feminisme neoliberal, perempuan seringkali dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi "superwoman" yang sukses di semua bidang, termasuk dalam karier, keluarga, dan kehidupan sosial. Citra perempuan yang sukses dan memikat di media sosial dapat menjadi bagian dari tuntutan ini, dan dapat memicu perasaan tidak cukup atau tidak memadai pada perempuan yang merasa tidak mampu mencapai standar yang dipromosikan.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya feminisme neoliberal, yaitu:
- Dampak globalisasi dan liberalisasi ekonomi: Neoliberalisme adalah sebuah ideologi ekonomi yang memandang bahwa pasar bebas dan pengusaha individu adalah kunci utama dalam mencapai kemakmuran ekonomi. Hal ini menjadi sangat penting pada era globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang mengubah tatanan sosial-politik dan ekonomi dunia. Hal ini menciptakan tuntutan pada individu untuk mampu beradaptasi dengan perubahan global dan bersaing di pasar internasional, termasuk dalam bidang pekerjaan dan karier.
- Peningkatan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja: Di beberapa negara, terjadi peningkatan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja, sehingga feminisme menjadi semakin relevan. Namun, peningkatan partisipasi ini juga menimbulkan dilema bagi perempuan yang harus mengatasi tuntutan untuk berkarier sekaligus memenuhi tuntutan keluarga dan tanggung jawab rumah tangga.
- Pergeseran budaya dan nilai-nilai individualisme: Neoliberalisme juga mengubah budaya dan nilai-nilai masyarakat yang semakin menekankan pada individualisme dan swadaya. Hal ini menciptakan tuntutan pada individu untuk menjadi sukses secara mandiri dan memperbaiki citra diri mereka, termasuk dalam bidang kecantikan dan gaya hidup. Tuntutan ini juga menciptakan tekanan sosial pada perempuan untuk menunjukkan prestasi dan kemampuan mereka secara individu.
Fenomena Flexing di Indonesia
Fenomena flexing di Indonesia saat ini dapat dilihat dari maraknya konten yang memperlihatkan gaya hidup mewah, kesuksesan finansial, dan kesejahteraan material di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari popularitas influencer dan selebritas di media sosial, yang memperlihatkan gaya hidup mewah dan barang-barang branded, seperti mobil, tas, dan pakaian mahal.
Fenomena ini juga terlihat dari tren konten seperti vlog makan di restoran mewah, unboxing produk-produk mahal, hingga konten perjalanan liburan ke tempat-tempat eksotis dan mewah. Beberapa konten ini sering kali dilengkapi dengan tagar-tagar seperti #blessed, #luxurylifestyle, #richkidsofinstagram, dan sejenisnya.
Fenomena flexing di Indonesia ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
- Dampak sosial media: Media sosial menjadi media yang sangat populer dalam kehidupan sehari-hari dan memudahkan seseorang untuk membagikan konten yang menampilkan gaya hidup mewah dan kesejahteraan material. Terlebih lagi, media sosial juga memberikan dukungan pada perilaku flexing dengan memberikan like dan komentar positif pada konten yang menampilkan gaya hidup mewah.
- Budaya konsumerisme: Budaya konsumerisme semakin mengakar di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan urban yang memiliki daya beli yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi produk-produk mahal dan berkualitas, seperti barang-barang branded dan kuliner di restoran mewah.
- Ambisi untuk memperlihatkan prestasi: Ada ambisi untuk memperlihatkan prestasi dan kesuksesan pada orang lain, terutama di media sosial. Hal ini dapat terlihat dari kecenderungan untuk membagikan kesuksesan finansial, gaya hidup, dan kesejahteraan material di media sosial sebagai bentuk prestasi dan pencapaian.
Namun, fenomena flexing juga memiliki dampak negatif, seperti meningkatnya tekanan sosial pada individu untuk menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan secara material, sekaligus mengabaikan pentingnya nilai-nilai non-material, seperti kebahagiaan, kepuasan, dan keseimbangan hidup. Fenomena ini juga dapat menciptakan kesenjangan sosial dan menguatkan kultur individualisme, di mana individu lebih fokus pada pencapaian individu dan status sosial, ketimbang memperhatikan kepentingan bersama. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk menghindari perilaku flexing yang berlebihan dan meningkatkan penghargaan terhadap nilai-nilai non-material dalam kehidupan.
Fenomena Image Crafting di Indonesia
Fenomena image crafting di Indonesia saat ini juga dapat dilihat dari maraknya konten di media sosial yang menampilkan citra diri yang ideal, baik itu dalam hal penampilan, gaya hidup, prestasi, atau kepribadian. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membangun citra diri yang positif dan menarik perhatian orang lain.
Tren image crafting ini dapat dilihat dari popularitas influencer di media sosial, yang seringkali membangun citra diri yang ideal dan mempromosikan gaya hidup sehat, kecantikan, dan mode. Tidak hanya influencer, banyak juga orang biasa yang memanfaatkan media sosial untuk membangun citra diri yang ideal, seperti membagikan foto-foto selfie dengan filter yang menonjolkan kecantikan dan pemakaian make up yang sempurna.
Faktor yang memengaruhi fenomena image crafting di Indonesia bisa bervariasi, seperti:
- Tekanan sosial: Tekanan sosial dari lingkungan, keluarga, teman, atau masyarakat umum bisa menjadi salah satu faktor yang memengaruhi individu untuk membangun citra diri yang ideal di media sosial.
- Ambisi untuk membangun karir: Banyak orang yang menggunakan media sosial untuk membangun citra diri yang positif sebagai bagian dari strategi membangun karir dan mencari peluang bisnis.
- Pengaruh media dan budaya populer: Media dan budaya populer juga berpengaruh dalam membentuk persepsi individu mengenai citra diri yang ideal, terutama terkait dengan penampilan, gaya hidup, dan kepribadian.
Namun, fenomena image crafting juga memiliki dampak negatif, seperti meningkatnya tekanan sosial pada individu untuk mempertahankan citra diri yang ideal, terutama di media sosial. Hal ini dapat memicu perasaan tidak cukup baik atau merasa rendah diri jika tidak berhasil membangun citra diri yang ideal di media sosial. Selain itu, fenomena image crafting juga dapat memperkuat kultur keseragaman, di mana individu mengikuti tren yang sama untuk membangun citra diri yang ideal, tanpa mempertimbangkan keunikan dan keberagaman individu.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran untuk menghindari perilaku image crafting yang berlebihan dan fokus pada pengembangan diri yang lebih autentik dan jujur. Individu perlu memahami bahwa citra diri yang positif tidak hanya berasal dari penampilan, gaya hidup, atau kepribadian yang ideal, tetapi juga dari nilai-nilai dan kualitas pribadi yang sesuai dengan kebutuhan dan minat individu.
Kaum Flexing dan Image crafting di Indonesia
Fenomena flexing dan image crafting dapat dilakukan oleh berbagai kalangan di Indonesia, terutama kalangan muda dan kaum urban. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa kalangan lain juga dapat melakukan perilaku tersebut.
Dalam hal flexing, biasanya dilakukan oleh individu yang ingin menunjukkan kekayaan, status sosial, dan gaya hidup yang glamor melalui media sosial. Kalangan yang seringkali melakukan flexing di Indonesia adalah anak muda, selebriti, dan orang yang memiliki akses ke dunia hiburan dan bisnis.
Sementara itu, dalam hal image crafting, kalangan yang melakukan perilaku ini juga cukup beragam, mulai dari influencer, mahasiswa, pekerja kantoran, hingga ibu rumah tangga. Namun, biasanya orang-orang yang berada di kalangan muda dan urban lebih aktif dalam membangun citra diri yang ideal di media sosial.
Menjadi catatan dan perlu diingat bahwa fenomena flexing dan image crafting tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu. Siapapun dapat melakukan perilaku tersebut jika merasa perlu untuk membangun citra diri yang lebih baik dan menarik perhatian orang lain di media sosial.
Media Sosial sebagi Media Ekspresi Kaum Flexing dan Image crafting
Media sosial menjadi salah satu dasar terjadinya fenomena flexing dan image crafting di Indonesia. Hal ini dikarenakan media sosial memberikan kemudahan bagi individu untuk menunjukkan identitas dan citra diri mereka kepada orang lain melalui foto, video, atau konten lainnya. Dampak media sosial, khususnya Facebook, terhadap kecemasan mengenai citra tubuh dan mood pada wanita muda.
Hasil penelitian Fardouly, J., dkk. (2015) menunjukkan bahwa semakin sering menggunakan Facebook, semakin tinggi kemungkinan seseorang merasa cemas terkait citra tubuh mereka. Selain itu, semakin sering melihat gambar-gambar foto yang menampilkan tubuh yang dianggap "ideal" oleh masyarakat, semakin tinggi kemungkinan seseorang merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka sendiri dan mengalami perubahan mood yang negatif.Â
Fuchs (2018) juga menyoroti peran penting media sosial dalam mempertahankan dan memperkuat ketidaksetaraan sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat. Dia menekankan bahwa ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial semakin terlihat di dunia maya, di mana individu dan perusahaan dapat "memperlihatkan" kesuksesan mereka melalui flexing dan image crafting, sementara orang-orang yang kurang beruntung terpinggirkan dan diabaikan.
Dalam hal flexing, media sosial memungkinkan individu untuk memamerkan kekayaan, status sosial, dan gaya hidup yang glamor dengan cara mengunggah foto atau video yang menunjukkan barang-barang mewah, tempat-tempat eksklusif, atau pengalaman yang jarang terjadi. Media sosial juga memungkinkan individu untuk menambahkan keterangan dan hashtag tertentu untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan.
Sementara itu, dalam hal image crafting, media sosial memungkinkan individu untuk membangun citra diri yang ideal melalui foto-foto selfie atau konten lainnya. Media sosial juga memungkinkan individu untuk menggunakan filter dan efek tertentu untuk mempercantik atau memperindah tampilan diri mereka, atau menggunakan caption yang menunjukkan kualitas positif atau prestasi yang dimiliki.
Alice E. Marwick (2013) menjelaskan tentang pengaruh media sosial pada citra diri, branding, dan publisitas di era digital. Bagaimana media sosial memungkinkan individu untuk mengelola citra publik mereka dan membangun merek pribadi, dengan mengunggah foto, video, dan status yang dapat menonjolkan aspek positif dari kehidupan mereka.Â
Dalam konteks fenomena flexing dan image crafting, menunjukkan bagaimana penggunaan media sosial dapat menjadi alat untuk membangun merek diri dan memperkuat citra publik individu.Â
Sebagaimana selebritas menggunakan media sosial untuk mempromosikan citra diri mereka dan membangun hubungan dengan penggemar, yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat tentang mereka. Dimana, penggunaan media sosial pada citra diri dan branding, meniimbulkan risiko terjadinya pembentukan citra yang tidak autentik dan manipulatif, serta tekanan sosial untuk terus memperkuat citra positif di media sosial.
Namun, perlu diingat bahwa media sosial tidak sepenuhnya menjadi penyebab terjadinya fenomena flexing dan image crafting. Media sosial hanya sebagai sarana atau platform yang memungkinkan individu untuk menunjukkan identitas dan citra diri mereka secara luas kepada orang lain. Selain itu, faktor-faktor seperti budaya populer, tekanan sosial, dan ambisi karir juga dapat menjadi penyebab terjadinya kedua fenomena tersebut.
Konsep Dramaturgi dalam Kehidupan di Era Digital
Konsep dramaturgi sosial dalam kehidupan sehari-hari atau self prsentation. Goffman (1959) menekankan konsep-knsep pandangannya bahwa setiap individu memainkan peran dalam interaksi sosial mereka, dan bahwa setiap interaksi sosial dapat dipandang sebagai suatu pertunjukan di mana individu memainkan peran tertentu dan menampilkan citra diri tertentu.Â
Konsep-konsep tersebut kini semakin relevan dengan fenomena flexing dan image crafting kemudianmemperoleh muara transmisinya saat ini oleh perkembangan teknlogi digital yang semakin mudah diakses oleh seluruh kalangan individu, karena kedua hal tersebut melibatkan individu yang secara sengaja memainkan peran tertentu dan menampilkan citra diri yang sesuai dengan keinginan mereka.Â
Dalam hal ini, flexing dan image crafting dapat dilihat sebagai strategi yang digunakan oleh individu untuk memperoleh pengakuan sosial dan membangun citra diri yang diinginkan.
Bagaimana kontribusi peran media dalam memengaruhi citra diri dan identitas sosial seseorang. Dalam era digital dan media sosial, individu memiliki lebih banyak kontrol atas presentasi diri mereka dan dapat memperlihatkan citra diri yang diinginkan secara lebih terukur dan terdokumentasi.Â
Oleh karena itu, konsep dramaturgi sosial kemudian diaplikasikan dalam pemahaman terhadap fenomena flexing dan image crafting di era digital oleh individu dan perusahaan yang semakin massif di era digital saat ini.
Analisis Psikologi Narsis Dorongan Flexing dan Image Crafting
Konteks fenomena flexing dan image crafting memberikan informasi tentang bagaimana media sosial memainkan peran penting dalam membentuk citra diri individu dan memengaruhi persepsi orang lain tentang mereka.
Semua kalangan memiliki potensi menggunakan media sosial untuk memamerkan kehidupan glamor mereka dan memperlihatkan aspek-aspek yang menarik dari diri mereka, seperti kecantikan, kekayaan, dan prestasi. Sehingga dampak negatif dari penggunaan media sosial pada mereka, termasuk kecemasan dan ketidakpercayaan diri yang disebabkan oleh perbandingan sosial dan citra diri yang dipromosikan di media sosial.Â
Oleh karena itu, penggunaan media sosial dalam konteks flexing dan image crafting juga dapat menyebabkan tekanan sosial yang signifikan pada remaja dan remaja muda. (Houghton, D. J., dkk. 2018)
Psikologi narsis atau narsisisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pola perilaku atau kepribadian seseorang yang memiliki rasa percaya diri yang berlebihan dan cenderung merasa superior dari orang lain. Secara umum, narsisisme merujuk pada dorongan yang kuat untuk mencari pengakuan dan penghargaan dari orang lain, serta keinginan untuk memperoleh kekuasaan dan kontrol atas orang lain. (Campbell, W. K., & Miller, J. D., 2011)
Orang yang mengalami narsisisme biasanya memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi, merasa bahwa dirinya unggul dan berhak mendapatkan perhatian khusus dari orang lain. Mereka sering kali merasa bahwa mereka lebih penting dan lebih cerdas dari orang lain, serta cenderung menganggap bahwa peraturan dan norma yang berlaku tidak berlaku bagi mereka. (Malkin, C., 2015).
Namun, di balik kepercayaan diri yang kuat tersebut, orang yang mengalami narsisisme seringkali memiliki kecenderungan untuk merasa tidak aman dan cemas terhadap kritik atau penolakan. Mereka juga cenderung sulit merasakan empati dan berusaha menghindari kerentanan atau kelemahan, dan dapat bersikap manipulatif atau memanfaatkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Psikologi narsis sering dikaitkan dengan berbagai macam masalah mental dan emosional, seperti gangguan kepribadian narsistik, depresi, kecemasan, dan ketidakstabilan emosional. Namun, dengan pengobatan dan dukungan yang tepat, orang yang mengalami narsisisme dapat memperbaiki kualitas hidup mereka dan belajar untuk berinteraksi dengan orang lain secara sehat dan bermakna. (Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009)
Beberapa studi psikologi telah mencoba untuk menganalisis faktor psikologis yang mendorong keinginan seseorang untuk melakukan flexing dan image crafting di media sosial. Berikut adalah beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan:
Chen, G. M. (2016) dampak self presentation yang mendorong pola flexing menunjukkan bahwa impresi-impresi penggunaan media sosial untuk melakukan flexing dan image crafting dapat berhubungan dengan kebutuhan akan pengakuan dan perhatian sosial, pengaruh budaya populer, dan konsep diri yang diinginkan. Hal ini terkait dengan teori self-presentation dan impression management yang menunjukkan bahwa individu cenderung memperlihatkan diri yang lebih baik atau ideal di hadapan orang lain.
Sementara yang mendorong pola image crafting  oleh Kim, J., & Lee, J. E. R. (2011) dalam artiklnya menunjukkan bahwa individu yang menggunakan media sosial untuk melakukan image crafting cenderung memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena individu merasa lebih terhubung dan diterima oleh orang lain melalui citra diri yang dihasilkan di media sosial.
Sementara studi yang menunjukkan pola keduanya dipaparkan oleh Zhou, Z., Jin, X., & Vogel, D. (2010) yang  menunjukkan bahwa penggunaan media sosial untuk melakukan flexing dan image crafting dapat berhubungan dengan keinginan untuk membangun identitas dan citra diri yang positif di hadapan orang lain, serta kebutuhan untuk memperkuat hubungan sosial dengan teman-teman dan keluarga. Hal ini terkait dengan teori psikologi sosial tentang pengaruh sosial dan identitas sosial.
Dari ketiga referensi tersebut, dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk melakukan flexing dan image crafting di media sosial dapat dipengaruhi oleh kebutuhan akan pengakuan sosial, kepuasan diri, dan hubungan sosial yang diinginkan. Hal ini terkait dengan teori-teori psikologi sosial dan self-presentation yang memperlihatkan bagaimana individu cenderung membangun identitas dan citra diri yang positif di hadapan orang lain.
Solusi terkait Dorongan Perilaku Flexing dan Image Crafting
Untuk mengatasi fenomena flexing dan image crafting di media sosial, diperlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai pihak. Beberapa solusi yang dapat dilakukan antara lain:
- Pendidikan tentang penggunaan media sosial: Pendidikan tentang penggunaan media sosial dapat membantu individu memahami dampak dari flexing dan image crafting di media sosial serta memperkuat kesadaran akan kebutuhan akan privasi dan autentisitas.
- Mendorong penggunaan media sosial yang positif: Pihak-pihak yang terkait dapat mendorong penggunaan media sosial untuk kepentingan yang positif, seperti untuk tujuan edukasi, berbagi informasi, atau membangun komunitas.
- Membuat regulasi penggunaan media sosial: Regulasi yang jelas tentang penggunaan media sosial dapat membantu mengurangi penyebaran konten yang merugikan individu atau kelompok.
- Membangun kesadaran akan dampak psikologis dari flexing dan image crafting: Kesadaran akan dampak psikologis dari flexing dan image crafting dapat membantu individu memperkuat nilai diri dan membangun citra diri yang positif tanpa harus melakukan flexing atau image crafting.
- Menekankan pentingnya autentisitas: Menekankan pentingnya autentisitas dalam media sosial dapat membantu individu memahami bahwa citra diri yang positif tidak harus selalu bersifat glamor atau mewah, namun dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sesungguhnya, solusi yang tepat untuk mengatasi fenomena flexing dan image crafting di media sosial dapat berbeda-beda tergantung pada kondisi sosial, budaya, dan faktor-faktor personal masing-masing individu. Oleh karena itu, solusi yang efektif dapat dihasilkan melalui pendekatan yang kolaboratif dan melibatkan berbagai pihak.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena flexing dan image crafting di media sosial merupakan fenomena yang semakin meningkat di Indonesia dan memiliki dampak yang kompleks pada individu dan masyarakat. Fenomena ini didorong oleh berbagai faktor, seperti tekanan sosial untuk tampil sempurna dan prestise, keinginan untuk diterima dan diakui oleh kelompok tertentu, serta pengaruh dari budaya konsumsi.
Pada sisi psikologis, keinginan untuk melakukan flexing dan image crafting dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti rasa tidak aman, ketidakpercayaan diri, kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan, dan dorongan untuk menunjukkan kesuksesan atau status sosial.
Untuk mengatasi fenomena flexing dan image crafting di media sosial, diperlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan berbagai pihak, seperti pendidikan, regulasi, dan pendorongan penggunaan media sosial yang positif. Pada akhirnya, solusi yang efektif dapat dihasilkan melalui pendekatan yang kolaboratif dan melibatkan berbagai pihak, serta mengakui kondisi sosial, budaya, dan faktor-faktor personal masing-masing individu.
Referensi:
- Campbell, W. K., & Miller, J. D. (2011). The Handbook of Narcissism and Narcissistic Personality Disorder: Theoretical Approaches, Empirical Findings, and Treatments. John Wiley & Sons.Â
- Chen, G. M. (2016). Self-presentation and impression management in the social media age. In The International Encyclopedia of Interpersonal Communication (pp. 1-8). John Wiley & Sons, Inc.
- Davidson, J. (2020). Flex: The Art and Science of Leadership in a Changing World. SAGE Publications.
- Fardouly, J., Diedrichs, P. C., Vartanian, L. R., & Halliwell, E. (2015). Social comparisons on social media: the impact of Facebook on young women's body image concerns and mood. Body image, 13, 38-45.
- Fuchs, C. (2018). Digital demagogue: authoritarian capitalism in the age of globalization. Pluto Press.
- Gabriel, S., & Young, A. F. (2011). Becoming a Vampire Without Being Bitten: The Narrative Collective Assimilation Hypothesis. Psychological Science, 22(7), 990-994.
- Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.
- Houghton, D. J., Joinson, A. N., Caldwell, N. A., & Marder, B. (2017). The influence of social media on adolescents and teenagers in the United Kingdom. In The SAGE Handbook of Social Media (pp. 419-433). SAGE Publications.
- Goffman, E. (1959). The presentation of self in everyday life. Anchor Books.
- Kim, J., & Lee, J. E. R. (2011). The Facebook paths to happiness: Effects of the number of Facebook friends and self-presentation on subjective well-being. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 14(6), 359-364.
- Malkin, C. (2015). Rethinking Narcissism: The Bad-and Surprising Good-About Feeling Special. Harper Perennial.
- Marwick, A. E. (2013). Status update: Celebrity, publicity, and branding in the social media age. Yale University Press.
- Parker, P. M. (2018). The Art of Flex: Strategic Leadership in a Changing World. Morgan James Publishing.
- Ridgeway, C. L. (2018). Framed by Gender: How Gender Inequality Persists in the Modern World. Oxford University Press.
- Rottenberg, C. (2018). The Rise of Neoliberal Feminism. Oxford University Press: New York.
- Stephens-Davidowitz, S. (2017). Everybody Lies: Big Data, New Data, and What the Internet Can Tell Us About Who We Really Are. HarperCollins.
- Stillman, T. F., Baumeister, R. F., & Lambert, N. M. (2009). The Psychology of Social Status. Springer: New York.
- Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. Free Press.
- Zhou, Z., Jin, X., & Vogel, D. (2010). Understanding social media users: A psychological perspective. In Proceedings of the 18th ACM International Conference on Information and Knowledge Management (pp. 1005-1014). ACM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H