Kepopuleran Warung Tuman di telinga penggemar kuliner daerah Jabodetabek mungkin sudah tidak asing lagi. Kolaborasi ciamik pasangan Pak Eko dan Bu Nanin sebagai mesin penggerak Warung Tuman menghasilkan nilai-nilai lain yang menarik untuk dikupas.
Warung Tuman hadir dari mimpi Pak Eko dan kepiawaian Bu Nanin dalam mengolah bahan makanan khas nan unik sebagai identitas Warung Tuman. Pak Eko punya cita-cita untuk melestarikan budaya Indonesia, sementara Bu Nanin memegang warisan leluhur keluarga yang berasal dari Jawa dan Sumatera.
Warisan leluhur itu bernama nila calabalatuik, gulai bareh, tempe mendoan, wedang uwuh, secang wangi, dan ragam hidangan tradisional otentik lainnya. Hidangan yang tertata di tengah kebersamaan dan keharmonian antara sesama manusia dan alam semesta, cerminan budaya Indonesia yang menjadi impian Pak Eko.
Jika bukan dari Warung Tuman, tampak sulit kita mengenal olahan ikan nila yang direbus dengan daun pisang, lalu dipanggang di atas arang, dan dimasak kembali dengan kuah santan yang telah diberi rempah lengkap sapu jagad, daun singkong dan daun jeruk. Proses yang rumit tapi senilai dengan rasanya. Ada lagi gulai bareh. Gulai berisikan daging iga sapi yang dimasak dengan beras yang dihaluskan sehingga rasanya begitu kaya dan gurih.
Akses untuk menuju Warung Tuman cukup menantang. Pilihannya antara berjalan kaki sejauh sekitar 300 meter, atau mengemudi melewati perkampungan dan kebun warga dengan jalan sempit yang hanya persis cukup satu mobil SUV. Perlu ketelitian dan kesabaran untuk mencapai kesana. Namun pemandangan yang disuguhkan seperti mengembalikan kita ke zaman dimana telepon genggam dan earphone bukanlah kawan sejati manusia.
Deretan rumah perkampungan nak sejuk di antara kebun bambu, singkong, dan pohon-pohon buah yang tinggi nan rimbun berada di kiri kanan jalan. Berbanding terbalik dengan sisi lainnya berdiri komplek-komplek modern milik pengembang Bumi Serpong Damai atau BSD.Â
Bukan tanpa sebab Pak Eko memilih lokasi ini. Dalam bayangannya ia ingin membangun tempat mencari nafkah yang dekat dengan hatinya yaitu alam semesta. Ia mematahkan mitos mistis rimbunnya pohon bambu, menjadi sumber kesejukan di Warung Tuman. Tak heran karena pohon bambu adalah pohon yang menghasilkan 35% oksigen paling banyak dari pohon yang besarnya setara.
Tempat duduk seperti balai-balai, kursi anyaman rotan, sampai dengan kursi dari potongan kayu tersebar secara acak namun tertata apik telah tersedia untuk persinggahan para tamu. Tidak ada sekat antara satu meja dengan yang lainnya. Semua berbaur bersama-sama. "Di sini emosi negative harus dikesampingkan. Belajar sabar dan saling memahami saat antrian padat memenuhi area dapur. Karena begitulah sejatinya kebersamaan orang kita dan alam semesta," ujar Pak Eko. Mengingatkan bahwa sejatinya orang Indonesia adalah berbeda-beda, dan seharusnya menjadi satu jua. "Kayak warung-warung di Yogya. Adem, nyaman, tenang," tambahnya.
Impian itu belum selesai sampai di situ. Dalam menjalankan bisnisnya Pak Eko juga tak segan mengajak warga sekitar. Sebut saja Babeh, laki-laki paruh baya ini membuka lapak aneka rupa tepat di depan pintu keluar masuk Warung Tuman. Dagangan yang ia jual tergantung dari hasil kebun yang ia dapat dari sekitar. Terkadang ada jambu air, jambu biji, kweni, cempedak, bahkan keripik singkong, pisang, dan rengginang. Tak tentu jadwalnya.
"Saya ingin dapat bermanfaat dengan memberdayakan warga sekitar. Di depan warung saya ini kan lapangan, saya membayangkan suatu hari nanti ada pasar rakyat yang diikuti oleh warga sekitar agar kita bisa sama-sama maju dan punya penghasilan," kata Pak Eko yang bernama lengkap Eko Sulistyanto.