Sabtu pagi itu tumben sekali matahari bersinar sangat terik, padahal baru masih sekitar jam 9. Segera saya menstarter motor menuju pusat kota sebelum matahari makin menyengat. Hanya sekitar 10 menit perjalanan saya sudah tiba di museum Sonobudoyo. Â Kebetulan hari itu ada even seru yang diadakan oleh kompasiana dan Kementrian Agama dengan judul Mengenal Peradaban Melalui Manuskrip.
"Sudah pernah kesini?" tanya kawan lama sama yang juga ikut dalam even ini." Iya," kata saya. Lalu memori saya seolah berputar balik, mencoba mengingat kapan terakhir kali kesini, sambil tentu saja membayangkan kondisi museum kala itu. Kira-kira 15 tahun yang lalu. Wah saya pangling, karena museum ini tampak cantik dan tertata.
Ada mbak dan mas guide yang menemani kami berputar dan bercerita tentang barang-barang yang ada di Sonobudoyo. Bayangan di dalam museum yang pengap dan gelap dan menyeramkan sirna sudah, ternyata terang , rapi dan bersih. Sembari mendengarkan si mbak guide memberikan informasi tentang setiap bagian dan benda-benda yang ada di museum.Â
Saya berhenti cukup lama di prasasti dan daun lontar selain untuk mengambil gambar, saya bertanya-tanya tentang bagaimana orang jaman dulu bisa menciptakan aksara dan bagaimana menuliskannya di batu. Pahatannya rapi, memang hanya secuil tapi saya penasaran dengan arti aksara tersebut. Saya memutar pandangan di sekitar tapi sepertinya memang tidak ada. Â Baiklah mungkin saya bisa bertanya pada sang ahli atau belajar filologi hehe.
Ya, dan memang keberadaan manuskrip di Indonesia sangat  banyak, agar tetap dapat digunakan dan terhindar  dari kerusakan karena faktor alam dan social-politik maka manuskrip-manuskrip tersebut didigitalisasi. Prof. Oman Fathurahman sebagi pembicara utama menyampaikan bahwa manuskrip memiliki values yaitu menjadi sumber primer unuk mengetahui kebenaran, maksud pengarang dan menempatkan teks pada konteks.
Berjalan ke ruang berikutnya, di sonobudoyo juga menyimpan sejarah batik dan wayang, sayangnya koleksi batik yang dipamerkan tidak terlalu banyak. Padahal saya sangat suka batik. Koleksi topeng-topeng tidak terlalu menarik pehatian saya. Hanya kehadiran topeng-topeng disini mengingatkan saya pada satu dua orang teman yang bertopeng alias tipe bermuka dua.Â
Ruangan berikutnya mengingatkan saya pada masa kecil, ya di Sonobudoyo juga menghadirkan pemainan dan mainan yang lazim dimainkan oleh bocah-bocah pada masa itu.
Barangkali ingat ancak-ancak alis, jamuran dan cublak-cublak suweng, yang masih mengingat dan memainkannya mungkin berada pada masa yang sama dengan saya. Selain permainan ada juga mainan seperti othok-othok dan kapan othok-othok yang mungkin masih bisa kita jumpai saat perayaan Grebeg biasanya.
Oiya, selain kebudayaan jawa di Sonobudoyo juga memiliki ruangan yang memamerkan ragam budaya Bali. Kira-kira 1 jam sudah saya bernostalgia. Senang rasanya mengetahui bahwa kita bisa lebih mengenal budaya kita. Saya masih terbayang pada aksara yang ada di prasasti batu, seandainya saja aksara itu masih kita gunakan saat ini.Â
Mengingatkan saya pada huruf-huruf yang masih digunakan di negara Thailand, Kamboja dan Laos. Â Jadi jangan lupa, jika kalian berkunjung ke Jogja masukkan Sonobudoyo ke bucket listnya ya.
Sampai jumpa di Sonobudoyo!