Mohon tunggu...
Dian Nirmala
Dian Nirmala Mohon Tunggu... -

Pemerhati kisah manusia dan menuangkannya dalam catatan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Catatan Kemarin untuk Hari Esok

8 November 2018   10:49 Diperbarui: 8 November 2018   11:18 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memulai hari dengan kondisi pikiran dan perasaan yang netral (syukur-syukur positif) akan memengaruhi persepsi kita terhadap kejadian yang terjadi dalam keseharian. Tapi, ada kalanya, tabungan dan simpanan emosi kita sedang rendah. Sebagai psikolog, saya mengalaminya beberapa kali, dan terkadang bisa cukup berdampak terhadap pekerjaan saya. Sama seperti profesi lain, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. 

Bagaimanapun, psikolog adalah manusia juga, yang punya rasa lelah, rasa jenuh, dan rasa malas! (hehehe, itu mungkin sayanya aja, ga ada sangkut pautnya sama embel-embelnya). Ketika itu terjadi, saya inginnya membatasi diri untuk tidak bersinggungan dulu dengan kisah orang lain. Hal yang ada di pikiran saya adalah semua tentang saya, perasaan ingin dimaklumi, ingin dibiarkan melakukan apapun semau saya, dan ingin sendiri dulu.

Seperti halnya hari kemarin. Kebetulan sekali, ketika tiba di Klinik Terpadu UI dan menunggu sekitar setengah jam, saya mendapat informasi bahwa klien yang sudah daftar, membatalkan kehadirannya. Ah, pas banget! Segera saya bersiap, membawa novel, air minum, dan dompet. Kabur sejenak, barangkali bisa membantu menyeimbangkan suasana hati. Tepi danau adalah tujuan saya. Terbayang sudah suasana tepian yang saya rindukan, lengkap dengan kesendirian yang menenangkan. Membayangkan bisa melakukannya sebentar lagi bisa membuat saya sedikit riang. 

Ketika saya berdiri masih di dalam ruang praktik, sang mba menghampiri saya, kemudian berkata, "Mba, maaf, ini ada 2 orang mahasiswa baru datang, pengen konsul. Kan tadi klien Mba memang batal, sehingga jadwal pagi Mba kosong. Tapi, mba bersedia gak, pegang kasus umum ini, gak tau sih tentang apa. Mba bersedia?"

Jengjeng...

Gambaran suasana danau dengan saya di tepiannya tiba-tiba mengabur. Pikiran pertama saya yang jujur bilang, 'Yah... ada klien...' sambil merasa sedih. Pertanyaan "apakah mba bersedia?" sebenarnya memberikan pilihan pada saya, saya berhak untuk menolak dan pergi ke danau atau menjalani tanggung jawab saya dan tetap di sini. Saya gamang. Tapi kemudian, dalam hitungan waktu kurang dari 2 menit, saya mengangguk, "Iya, mba, saya bersedia."

Seketika itu juga, dengan penuh kesadaran, saya perlu mempersiapkan diri saya. Entah kasus apa yang akan saya terima hari ini, yang pasti bukan kasus pendidikan. Saya mengupayakan untuk membuka diri terhadap kemungkinan apapun yang akan terjadi. Saya perlu berjarak dengan diri saya sejenak, melupakan kekhawatiran dan kejengkelan yang saya rasakan. Meyakinkan diri bahwa saya memilih untuk tetap ada di sini, dan bukan terpaksa mengorbankan tepian danau.

Selama dua jam berproses bersama klien, saya merasa lebih baik. Betapa saya sangat mensyukuri profesi ini. Timbal balik energinya begitu dahsyat. Mengambil kekhususan pendidikan membuat saya berada pada konteks orang yang bermasalah, namun belum sampai pada taraf gangguan. Mereka itu, kita ini, lah orang yang bermasalah namun masih bisa menjalani fungsi keseharian dengan cukup baik. 

Pada level kesadaran yang sama, di dalam diri kita, tersimpan potensi dan harapan untuk mampu menyelesaikan masalahnya. Masalah yang bertubi dan belum terselesaikan akan menimbun potensi itu, sementara harapan meronta-ronta muncul ke permukaan. Proses untuk bisa memunculkan kesadaran ke permukaan, itulah seni yang sangat meggetarkan buat saya, di setiap kasus perorangan.

Ada rasa iba ketika melihat kepala yang tertunduk dengan lirikan mata sedikit ke arah mata saya, atau ketika mendengar suara yang keluar patah-patah. Ada rasa hangat yang menjalar ketika melihat mereka menangis, terisak, dan menghapus air matanya. Ada rasa senang ketika melihat mereka tertawa kecil, atau terbahak hingga memundurkan kursi oleh candaan. 

Ada rasa bingung ketika masuk dalam cerita dan masih belum menemukan inti masalah. Ada rasa turut bangga ketika melihat mereka berani menceritakan masalahnya dan menghadapi rasa takutnya. Ada rasa syukur yang mengalir deras ketika mereka menggenggam tangan dengan kencang. Ada rasa bahagia ketika melihat perubahan raut wajah mereka sebelum dan sesudah proses konseling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun