Mulai 1 Maret kemarin, kantong plastik di minimarket (sekali lagi) tidak gratis. Seperti yang kita tahu, beberapa tahun lalu kebijakan seperti ini sudah pernah diberlakukan. Namun, tampaknya kebijakan tersebut tidak bertahan lama. Akankah kebijakan Plastik Tidak Gratis akan bertahan atau hanya akan menjadi angin berlalu lagi?
Problematika konsumsi plastik ini tidak hanya pada tingkat minimarket ataupun supermarket saja. Jajanan anak sekolah, belanja di warung atau pasar tradisional, beli makanan minuman di food court mall, gelas minuman di acara keluarga dan tentu masih banyak contoh lain. Jika kebijakan plastik lebih focus ke tingkat minimarket dan supermarket saja, lantas bagaimana dengan masalah plastik yang lebih banyak di luar sana?
Beberapa solusi telah ditawarkan untuk menekan penggunaan plastik seperti dengan memakai tas kain salah satunya. Sebagian orang sudah melakukannya. Tapi seperti yang kita ketahui bersama, tidak mudah untuk mengubah perilaku konsumsi plastik ini.Â
Tidak apa. Kita akui dan terima fakta bahwa plastik sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Lalu kemudian mari kita buka mata dan welcome terhadap solusi "pengganti'' plastik. Kenapa tidak?!
Inovasi ecoplastic atau bioplastik bukanlah hal yang baru. Di Eropa, produksi bioplastik sudah sejak tahun sembilan puluhan dengan menggunakan bahan jagung dan serat bunga matahari. Di Indonesia, banyak pengembangan bioplastik berbahan lokal. Seperti dari singkong, jagung, kedelai, sagu, bahkan dari biji durian yang sering dibuang saja.Â
Bioplastik berbahan singkong merupakan contoh yang aktual. Karya inspiratif ini merupakan karya anak bangsa. Dikembangkan oleh Kevin Kumala beserta timnya sejak tahun 2010 dan mulai viral dalam dua tahun terakhir.
Bersama timnya yang beranggotakan delapan orang, mereka berinovasi mencari bahan pengganti plastik yang berasal 100% bahan nabati dan tentu saja biodegradable sekaligus compostable. Mulai dari jagung, kedelai, hingga akhirnya singkong. Singkong dipilih karena banyak, murah, dan pertumbuhannya lebih cepat. Pada proses pembuatannya mereka tidak menggunakan sari pati singkong melainkan ampasnya. Yang tadinya ampas singkong itu ''waste''Â menjadi ''worth". Secara kasat mata bioplastik singkong terlihat persis dengan plastik pada umumnya dan juga sama kuatnya, tapi tentu saja dampak yang ditimbulkan ke lingkungan 180 derajat berbeda.
Kevin mengembangkan inovasinya tersebut dengan mendirikan perusahaan startup bernama Avani Eco sejak tahun 2014. Tidak berhenti pada inovasi kantong plastik dari singkong, namun Avani Eco terus mengembangkan diri. Saat ini ada berbagai macam produk ecofriendly yang ditawarkan Avani Eco, antara lain Bio-Cassava Plastic, Eco-Poncho, PLA Products (pengganti alat makan plastik sekali pakai), Bio-Paper Products, Bio-Box (pengganti alat makan sterofoam), dan Bio-Wooden Cutlery (alat makan dari kayu).
Produk-produk ramah lingkungan hasil pengembangan perusahaan Kevin dan timnya tersebut hanya selisih harga Rp 80- Rp 300 dari produk plastik yang berbahaya saat ini. Namun, dampaknya sangat besar terhadap lingkungan.
Plastik membutuhkan ratusan tahun untuk dapat terurai. Permasalahan plastik tidak hanya sampai pada lama penguraiannya. Setelah terurai, plastik berubah menjadi microplastic. Kemudian microplastic tersebut larut ke dalam air, masuk ke dalam tubuh ikan, lalu berakhir di meja makan kita. Itu hanya sebagian kecil contoh dari bahaya plastik. Plastik bukan hanya perlu fast degredable (dapat terurai dalam dua tahun) seperti yang ditawarkan beberapa tahun belakangan ini, tapi perlu pengganti yang ramah lingkungan.