Sebentar lagi, kita akan menghadapi Pilpres 2014. Tak ada kenangan di sepanjang memori saya soal Pemilu 2014. Maklum, saya tiap 5 tahun golput. Mungkin bagi sebagian orang rugi Golput, berdiam diri, apatis dan sebagainya. Kalau sebelum berorganisasi benar adanya cerminan apatis.
Cuma tahun ini benar-benar tahun politik yang serba dilematis. Bagi saya, yang peduli terhadap HAM, kedua capres tipis harapan memberi peluang penegakan HAM. Jokowi - JK di satu sisi memang bukan dari kalangan militer, namun ketua timsesnya terlibat pembunuhan Munir. Berpasangan dengan JK yang dari Orde Baru saja sudah bermasalah. Saya sungguh miris, karena di tahun 1998, seingat saya yang masih SMP kelas 3 waktu itu, tuntutan utamanya tumbangkan Orde Baru dan Cabut Dwifungsi ABRI yang artinya menolak campur tangan militer dalam politik. Militer cukup di barak saja, karena begitulah fungsi ABRI/TNI.
Baru 16 tahun berlalu, kini banyak mantan Jendral penuh kejahatan HAM masa lalu bisa leluasa nyapres, bebas berpolitik tanpa pengadilan HAM satu kalipun. Padahal di negeri maju, orang yang terindikasi kejahatan HAM dan belum tuntas tak boleh berpolitik. Kenapa di Indonesia justru sebaliknya.
Saya sebagai bagian dari masyarakat biasa ya kuatir bila capres yang punya noda pelanggaran HAM menang. Saya memang mau sejahtera, upah layak, semua sembako murah tapi apa iya itu semua bisa diraih bila ruang demokrasi kembali dipersempit. Saya jadi mau bertanya pada seluruh rakyat yang tumpah ruah ke jalan itu, yang katanya mau menumbangkan Orde Baru dan mengembalikan militer ke barak, kenapa tuntutannya tidak dituntaskan sampai menang? Bolehkah saya bertanya dan harapnya sih ada yang menjawab. Karena bagi saya tidak konsisten dong, dulu menuntut cabut dwi fungsi ABRI, bubarkan komando teritorial tapi sekarang tidak malu bergabung ke Gerindra dan dukung Prabowo.
Kenapa rakyat kita, terutama sebagian aktivisnya tidak konsisten ya. Elit politik yang saat itu ikut mendukung penggulingan Soeharto, seperti Amin Rais, sekarang bisa lenggang kangkung dukung Prabowo. Katanya sih dalam politik tidak ada kawan dan lawan sejati, tapi apakah itu artinya bisa berubah prinsip sesuai maunya sendiri. Lha, tanggung jawabnya mana dong, kalau boleh inkonsisten apa layak jadi pimpinan kita semua.
Tak habis pikir, tapi katanya sih kalau sekedar mengeluh tidak boleh, namanya itu berpangku tangan. Kalau saya nih ya, sebagai rakyat biasa. Golput ya wajar, yang patut bertanggung jawab kenapa banyak rakyat seperti saya ini Golput ya karena elit politiknya inkonsisten tadi itu, tak punya prinsip, dan juga kalangan aktivisnya yang belum berhasil menghadirkan capres alternatif. Kita bukan sedang menunggu satrio piningit, saya tidak percaya. Tapi buat teman-teman aktivis yang membuka kran demokrasi dan berlanjut pada generasi aktivis sesudahnya, please dong, jangan patah semangat membuat partai baru yang memang merepresentasikan kepentingan rakyat seperti kami ini. Itu harapan saja, karena dulu Soekarno, Tan Malaka lahir dari gerakan rakyat kan, masa sih jaman sekarang tidak bisa menghadirkan sosok pejuang rakyat di kancah Pemilu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H