Kabinet baru pemerintahan Presiden terpilih kita Jokowi-JK telah terbentuk. Alangkah baiknya kita sama-sama mendukung kabinet tersebut untuk dapat menjalankan tugasnya demi meningkatkan kemajuan bangsa. Disini saya bukanlah untuk mengomentari susunan kabinet, dengan tidak memiliki pengetahuan mengenai politik dan tidak berlatarbelakang di dunia politik tentunya saya tidak mumpuni untuk melakukannya. Akan tetapi sebagai seorang yang tertarik akan kesehatan masyarakat saya menaruh harapan yang besar terhadap menteri kesehatan pilihan presiden kita ini. Masih segar diingatkan saya pernyataan dari Menteri Kesehatan (Prof. Dr. Nila Djuwita F Moeloek, SpM (K)) yang menyatakan bahwa tugas Kementerian Kesehatan adalah untuk menjaga manusia Indonesia agar tetap sehat dengan mengedepankan upaya promotif dan preventif.
Pernyataan tersebut yang membangun harapan besar tertuju kepada Kementerian Kesehatan, mengedepankan upaya promotif dan preventif berarti kembali mengaktifkan dan mengembangkan program-program promotif dan preventif untuk kesehatan masyarakat. Jika kita lihat saat ini, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah berjalan hampir satu tahun merupakan tindakan kuratif terhadap kesehatan masyarakat, dengan diberikannya jaminan untuk pengobatan bagi masyarakat/peserta yang membutuhkan. Namun bukan berarti program ini tidak dibutuhkan, alangkah semakin sempurna apabila JKN di back up oleh upaya preventif dan promotif yang optimal, sehingga tercipta peningkatan derajat kesehatan. Menurut Leavel and Clark peningkatan derajat kesehatan masyarakat dilaksanakan melalui lima tahap tingkat pencegahan kesehatan masyarakat diantaranya adalah promosi kesehatan.
Menurut WHO (1984) promosi kesehatan merupakan proses yang memungkinkan masyarakat untuk dapat melakukan kontrol dalam memperbaiki dan meningkatkan kesehatan mereka. Strategi promosi kesehatan yang dilakukan adalah dengan menciptakan advokasi, terjalinnya dukungan sosial dari seluruh elemen masyarakat, serta melakukan pemberdayaan masyarakat.
Puskesmas sebagai lini paling dasar dalam pelayanan kesehatan berfungsi sebagai pusat pemberdayaan masyarakat serta menjalankan pelayanan kesehatan tingkat pertama (Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)). Akan tetapi pada saat ini apakah fugsi puskesmas tersebut telah didukung oleh sumber daya yang memadai baik dari segi keuangan ataupun tenaga kesehatan?.
Bila kita lihat Puskesmas saat ini semenjak diberlakukannya JKN, dari segi pembiayaan untuk UKM kalah besar jika dibandingkan dengan UKP, pemerintah mengucurkan dana yang cukup besar untuk UKP yang dibayarkan untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), PNS, TNI/POLRI dan ABRI yaitunya lebih kurang sebesar 20 triliun. Sementara itu untuk dana UKM tidak lebih dari 10 % dari total alokasi pembiayaan kesehatan (Rijadi, 2014). Dengan keadaan dana yang seperti ini apakah mampu puskesmas menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat dan UKM secara optimal?. Sesungguhnya dalam sistem JKN peningkatan program UKM yang mampu menjadikan masyarakat sadar akan hidup sehat secara langsung menjadi pengendali dalam besarnya biaya masalah kesehatan masyarakat.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bukan hanya melayani masyarakat yang berkunjung ke puskesmas, akan tetapi lebih banyak melakukan kegiatan luar gedung, mengunjungi masyarakat dari rumah ke rumah, mengadakan penyuluhan di tengah masyarakat. Jika dilihat dari penghargaan finansial yang mereka peroleh, pada era JKN ini jasa pelayanan yang didapat dari dana kapitasi hanya tergantung dari pendidikan dan tugas mereka. Semakin tinggi pendidikan dan bertugas sebagai tenaga medis, semakin tinggi bobot jasa yang mereka dapatkan. Tentunya bagi tenaga kesehatan non medis (tenaga promosi kesehatan, sanitarian, gizi, dan lainnya) hal ini tidak sebanding dengan usaha yang mereka lakukan dimana harus menjangkau seluruh masyarakat.Selain itu jasa pelayanan ini tidak membedakan apakah mereka betugas di daerah terpencil dan kepulauan yang notabanenya susah dijangkau dibandingkan dengan mereka yang bertugas di perkotaan.
Berikutnya dari segi tenaga kesehatan di puskesmas, yaitunya tenaga kesehatan non medis yang kita ambil contoh tenaga promosi kesehatan. Apakah tenaga promosi kesehatan sudah mencukupi dan memiliki kemampuan dalam mengembang program promosi kesehatan?. Misalnya saja di daerah tempat saya bertugas, di setiap puskesmas rata-rata hanya memiliki satu tenaga promosi kesehatan, bahkan ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga promosi kesehatan, sehingga tenaga gizi dan sanitarian merangkap sebagai tenaga promosi kesehatan, apakah mereka mampu bekerja dengan tugas ganda sepeti itu? selain itu, wilayah kerja masing-masing puskesmas rata-rata mencakup 18.500 jiwa penduduk. Mari sama-sama kita bayangkan apakah mampu tenaga promosi kesehatan kita menjalani tugas tersebut dengan optimal? Di samping itu apakah tenaga ini juga telah dibekali dengan ilmu ataupun pernah mendapatkan pelatihan menyangkut upaya promosi kesehatan yang pada dasarnya sangat berkaitan dengan perubahan perilaku masyarakat. Dengan keterbatasan dana, tenaga, serta kompetensi dari tenaga seperti ini serasa tipis harapan kita untuk memajukan program UKM.
Namun keadaan tersebut ditangan ibu Menteri kita saat ini semoga segera dikaji dan dicarikan solusinya, jika tidak tentunya tidak akan mampu menjalankan program UKM yang optimal sehingga sulit untuk menciptakan masyarakat yang mampu dan mandiri untuk hidup sehat. Harapan untuk bangkitnya UKM di tangan Ibu Menkes yang baru semoga bukan hanya tinggal harapan belaka.
Mengenai ketersediaan tenaga kesehatan non medis (tenaga promosi kesehatan, sanitarian, dan gizi) menurut pendapat sederhana saya bisa di atasi dengan adanya kerjasama kementerian kesehatan, pemerintah daerah dengan institusi pendidikan kesehatan masyarakat baik negeri ataupun swasta. Sarjana kesehatan masyarakat yang dilahirkan sangat bisa diberdayakan di puskesmas. Berbekal pengetahuan dasar mengenai promosi kesehatan, gizi masyarakat, kesehatan lingkungan sarjana kesehatan masyarakat sangat tepat untuk ditempatkan sebagai tenaga promosi kesehatan dan penyuluh kesehatan masyarakat. Disamping itu mungkin bisa juga menerapkan sistem wajib PTT bagi para lulusan institusi pendidikan kesehatan di bawah jajaran kementerian kesehatan, sehingga tercipta kecukupan akan ketersediaan tenaga non medis bahkan sampai daerah terpencil dan kepulauan. Tentunya hal ini harus diiringi dengan peningkatan alokasi anggaran belanja kesehatan pemerintah untuk program UKM, temasuk untuk peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan medis ataupun non medis baik dari segi financial ataupun non finasial.
Dengan demikian diharapkan tenaga kesehatan non medis tercukupi dan merata, program UKM terlaksana dengan optimal, terwujud masyarakat yang mandiri dan hidup sehat, serta beban biaya masalah kesehatan dari JKNpun bisa dikendalikan. SEMOGA….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H