Oleh : Arief Akbar, Bsa
Sore ini terlihat mendung begitu tebal mencekam dengan sedikit butiran angin basah menerpa di wajah yang tak lagi ada kewibawaan sedikitpun yang terpancar. Tiada rasa keinginan untuk hentikan niatku memetik buah-buahan di batas pertemuan senja agar malam nanti kami semua dapat bersuka ria.
Aku tahu kau menungguku dalam kondisi apapun juga untuk singgah di sana sekalipun badai besar mengguncang keberadaan lampion syahdu menjadi hancur dan padam.
Akupun tahu dalam hitungan detik jari lentikmu memunguti biji-biji kedelai untuk dipisahkan yang terbaik pada tempatnya sesuai takaran disetiap satu jam pengeratan waktu tetaplah menjadi bagianmu yang tersendiri. Tugasmu sebagai penjaga atas ketetapan waktu yang berjalan adalah simbol kekuatan bagi seluruh penghuni kota Hitam yang tak pernah terlelap. Hari-hari diselimuti oleh penantian walau hanya sebatas asa yang terkecil sekalipun, kau tak pernah berpaling darinya.
Seperti malam
Rintihan kecil itu
Memekakkan telinga
Mengalir begitu saja tanpa doa,
Doa yang terpenggal
Tersekat,
Dan tergantung
Pada cermin agung yang retak disebagian kisinya
Hingga wajahku
Kini tak berbinar seperti pasi
Biarkan saja
Malam ini gaduh
Penghuni langit saling bertanya,
Siapakah kau,
Gadis penjaga kota Hitam?
Adalah keniscayaan bagi sebutan sebagai kota Hitam terlalu melekat disetiap sanubari jiwa-jiwa yang resah. Jiwa-jiwa yang tak lagi berharap pada pengharapan semu di sejengkal langkah mati yang tak bersimpul dan berpola. Hingga tanpa syarat menuangkan cawan pada darah abadi disetiap jejak yang tertinggal walau tanpa saling menyapa diantara sesamanya. Kota itu seolah sunyi, sepi dan begitu hening tanpa ada pengecualian apapun sebagaimana riaknya sebuah kota.
"Anggaplah anjing liar, atau sejenis binatang berkelamin dua yang pangkalnya saling beradu untuk masturbasi dan melahirkan anak hitam legam yang tak berparas," celoteh batu ratapan.
"Tidak! jangan kau katakan lagi! dan biarkan kami saling membunuh karena itu adalah kutukan!,"