(Jarum afiliasi Jemari Jingga)
Oleh Arief Akbar Bsa
Cinta yang agung pada kisah Purwadana putra Dendrayudha dalam mengejar cintanya pada gadis pujaan hatinya Ranggita yang belum berwujud (non jasmani) dalam karya novel Jemari Jingga, adalah penjabaran pada makna cinta yang sesungguhnya dimana bukan tentang sebuah rasa pada kedalaman cinta yang mengusik nilai-nilai kehormatan dan keagungan semata sekalipun berbalut keniscayaan dalam menafsirkan tentang cinta belaka, melainkan lebih mengutamakan pada pemahaman kandungan cinta di atas kecintaan itu sendiri sehingga merasa telah sampai di kedalaman cinta yang sesungguhnya tak lagi ada karena sejatinya ungkapan cinta adalah bahasa hati yang diselimuti cahaya.
Bagi Plato, cinta itu sendiri bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sarana untuk mencapai konsep keindahan tertinggi. Plato memandang bahwa cinta adalah kendaraan untuk dapat menggapai suatu keindahan tertinggi. Terlepas dari 3 konsep "Cinta Platonik", secara tidak langsung Plato juga mengatakan bahwa cinta adalah tentang mengembangkan diri. Dalam pandangannya, cinta menginspirasi orang untuk menjadi lebih baik dan lebih bijaksana. Cinta dapat membawa seseorang pada jalan kebijaksanaan dan kebaikan.
Membicarakan kebaikan sebagai pilar atau landasan pada hakekat cinta, maka perjalanan cinta yang diurai pada kisah Jemari Jingga adalah semata-mata sebagai bahan kajian dalam eskalasi mengenal makna cinta dari sudut pandang bahasa hati. Tidak berpola dan tidak juga berbentuk sebagaimana laiknya dengan hubungan obyektifitas dan subyektifitas yang semu. Membiaskan segala makna dan mereduksi ketergantungan tentang kata cinta itu sendiri bahwa seolah-olah menjadi bagian dari diri kita sendiri yang telah dibenamkannya ruh cinta sebagai pelaku cinta yang sesungguhnya.
"Tidak, jangan samakan air mendidih dengan api sebagai penghantarnya, karena itu adalah dusta dalam kedustaan. Sedikitpun kau tak akan pernah bisa merasakan tentang keduanya dapat menghanguskan kulitmu bilamana anggapanmu selalu sejajar tentang air dan api." ungkap Dasima kala bertemu dengan Purwadana di ruang bintang setelah melewati ruang air dan api. Dari paparan tersebut sangat gamblang jika Dasima (tokoh dalam jemari jingga) tak sependapat dengan Purwadana tentang cinta yang memiliki kesamaan dan keterkaitan dengan kasih. Kata kasih dan kata cinta adalah hal lain yang masing-masing memiliki makna dari peran yang jauh berbeda.
"Love is when a person's happiness is more important than your happiness."
Salah satu roman klasik sastra Barat, Tristan & Isolde adalah kisah seorang Putri, bernama Isolde, yang berjanji untuk menikah dengan seorang Raja Cornwall bernama Mark. Namun, Isolde malah terlibat percintaan bersama keponakan sang Raja, Tristan. Hubungan keduanya diketahui oleh sang Raja. Tristan pun diusir dari Cornwall. Ia kemudian berkelana dan bertemu dengan wanita lain. Tristan menikah dengan wanita tersebut namun selama hidupnya masih merindukan Isolde. Tristan dan Isolde sempat akan melepaskan rindunya setelah berpisah selama bertahun-tahun, namun digagalkan. Keduanya kemudian meninggal dengan memendam kerinduan tanpa pernah bertemu kembali.
Dari paparan kisah cinta tersebut, maka apakah dapat disejajarkan sebagaimana dalam kisah Jemari Jingga yang pada akhirnya sang tokoh utama Purwadana mati lantaran banyaknya luka yang didapat saat perjalanannya mengumpulkan bagian-bagian jasad Ranggita sebelum pertemuan agung tersebut adalah picisan dan layak diolok-olok sebagaimana manifestasi dari cinta yang dangkal?, bukankah cinta adalah cerminan dari sebuah keindahan yang tak bisa ditawar menawar sebagaimana tentang pewarnaan yang tak mengenal warna luka dan duka yang berujung pada penderitaan?.
Penderitaan dalam kacamata kristiani sejatinya dimaknai pula sebagai sarana pernyataan diri dan kasih Allah. Penderitaan dan wafat Yesus merupakan tanda nyata kasih Allah bagi umat manusia. Dalam perspektif alkitab tentu saja derita adalah bagian dari unsur kecintaan yang mendalam tentang mencintai cinta sebagai persekutuan jalinan abadi antara Tuhan dan manusia. Tiada batasan tertentu karena yang ada wujud keberadaanNya adalah cinta itu sendiri yang disebarkan melalui cahaya agung merayapi jiwa-jiwa yang bersemayam pada hati yang terjaga untuk mengenal penderitaan atas nama cinta.
Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya. Akar yang kuat akan mampu menopang pohon besar tetap kokoh berdiri sekalipun badai kuat menerjangnya. Demikian pula dengan cinta yang memakai istilah sebagai akarnya, ia akan tumbuh berkembang dari benih pilihan yang membentuk dirinya menjadi besar dan agung melewati berbagai rintangan hingga tercipta akar cinta yang begitu kuat tak terbilang dari penyematan diri dari sentuhan derita dan bahagia.