Mohon tunggu...
Ahmad Sofyan
Ahmad Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Arsitek dan desainer web freelance yang suka nulis dan ngeblog. Mantan kolumnis majalah INTELIJEN.\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kumis dan Kotak-Kotak: Sebuah Ideologi

20 September 2012   08:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:10 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1348129673806764160

[caption id="attachment_213506" align="aligncenter" width="300" caption="kumis dan kotak-kotak sebagai simbol kepentingan (ilustrasi)"][/caption] Dalam berhimpun dan berkumpul, manusia selalu membutuhkan dan menerapkan simbol-simbol. Simbol-simbol itu pertama: untuk merekatkan ikatan dan membangun perasaan satu kelompok. Kedua : symbol itu pun sebagai pembeda identitas dalam menilai atau membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Pada tataran ini sebenarnya, simbologi tersebut masih berada pada level terbawah alias level primitif. Mengapa ? Karena makhluk purba dan suku-suku kuno pun telah lama menerapkannya, meski dalam format yang berbeda. Misalnya dalam penegasan klaim teritorial ataupun kekuasaan klan. Simbol pun bisa menjadi menara pemancar pesan-pesan yang tidak saja ditujukan bagi anggota komunitasnya, tetapi bisa menjangkau audiens yang lebih luas dan lebih plural. Disinilah simbol berubah menjadi ideologi. Pesannya bisa beraneka rupa, bisa sebuah cita-cita politik, atau bahkan sebuah ancaman. Jika pesan yang disampaikan lebih kepada sektarian, subyektifitas dan kesan-kesan buruk lainnya, maka simbol atau ideologi tidak lebih dari sebuah corpus mysticum (badan ghaib) yang berlaku totaliter dan eksklusif. Jika sudah demikian, maka ideologi hanya melayani dirinya sendiri (ideology for itselfs) yang selalu berjarak dengan khalayak, sementara, dan temporal sifatnya. Mengapa ? Karena ia hanya menjadi sebuah komoditas yang sangat dipengaruhi konteks (ekonomi-politik-sosial-budaya) yang mendukung kelahiran simbol tersebut. Andai saja, lahirnya simbol-simbol itu hasil dari sebuah perenungan yang mendalam, maka tidak akan ada kesementaraan wacana, tidak akan ada kemenduaan sebagai wujud sublimasi nyata simbol yang diboncengi pragmatisme dan kolusi. Tidak akan lahir perendahan dan penonmartaban anak manusia. Semoga saja, simbolisasi bukan lagi dalam rangka ambisi, tetapi adalah hasil refleksi. Simbolisasi bukan lagi anak haram dari adu gagah para sinatria di palagan yang tak jelas dipentaskan untuk siapa. Tetapi semoga, simbolisasi adalah hasil kesepahaman seluruh komponen yang berserakan, lalu masing-masing mau mengikatkan diri, bersedia melihat ke depan dan mengecilkan perbedaan. Semoga pula, ke depannya, kita para wong cilik dapat melihat simbolisasi yang jujur gambarannya, simbolisasi yang dapat menjadi naungan bagi kita putera-puteri Indonesia. Untuk warga Jakarta selamat memilih !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun