[caption id="attachment_129839" align="aligncenter" width="300" caption="Dirgahayu Indonesia"][/caption] Di bulan keramat ini, nampaknya kata “Merdeka” lebih sering diungkapkan dengan berbagai redaksi, frase dan artikulasi. Tidak jarang pengungkapannya disertai dengan nostalgia simbol-simbol heroisme bangsa, dan dalam bentuk perayaan yang hingar bingar. Namun dibalik gemerlapnya Agustusan, kita cenderung melupakan sebuah pertanyaan yang seharusnya mampu dijawab oleh kita, “Benarkah Kita telah Merdeka ?”
Theodore Roosevelt memaknai Freedom (Merdeka) sebagai freedom from want (bebas dari kelaparan), freedom from fear (bebas dari ketakutan), freedom of speech (bebas untuk berbicara), dan freedom of religion (bebas untuk memeluk agama). Dari makna-makna tersebut diperlukan sebuah prasyarat bahwa untuk mencapai makna sejati kemerdekaan baik sebagai pribadi maupun dalam kolektifitas bangsa adalah sebagai berikut : Pertama, Tidak tunduk terhadap kekuasan dari luar yang sewenang-wenang, kedua, Tidak tergantung, ketiga, Tidak dalam kondisi sebagai budak, keempat, Menikmati kemerdekaan politik. Setidaknya kemerdekaan merupakan kondisi bebas dari perbudakan dan pemenjaraan.
Zona Merah
Dorff[1] mencatat bahwa kegagalan negara adalah bentuk melemahnya kapasitas negara dalam menyediakan layanan pemerintahan yang sah. Demikian pula, Robert Rotberg[2] mendefinisikan kegagalan negara sebagai ketidakmampuan negara untuk menyediakan ayoman politik yang positif bagi warganya. Ayoman itu berupa layanan negara, mulai dari keamanan hingga payung hukum bagi setiap warga, perlindungan hak milik, hak partisipasi politik, penyediaan infrastruktur dan layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan.
Hingga usianya yang 66 tahun, Republik ini masih diciderai dengan kasus gizi buruk, kelaparan, warga yang makan nasi aking, maupun pengangguran. Korupsi yang merajalela, berbagai skandal politik yang telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Pemilihan langsung mulai dari daerah tingkat II hingga pusat, tidak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan dan kelelahan psikologis warga menghadapi even-even politik nasional.
Penerapan hukum yang tebang pilih. Bahkan Muladi, Guru Besar Undip, menyebutkan dalam artikel di harian Kompas 28 Juli 2011, KUHP - dan peraturan pidana lainnya, sebagai “Magna Carta” yang memberikan pedoman bagi pelaku tindak pidana untuk dapat meloloskan diri dari proses peradilan pidana.
Disisi lain hingga pemerintah SBY kini (data 2008), korporasi asing di Indonesia menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia. Inikah pertumbuhan ekonomi yang sehat? Bahkan, asing mulai masuk menduduki posisi top di berbagai BUMN, lembaga strategis yang seharusnya menjadi cerminan kedaulatan RI.
Amartya Sen seorang pakar ekonomi,[3] mengungkapkan bahwa perluasan ruang kemerdekaan harus dipandang baik sebagai (1) tujuan utama, maupun sebagai (2) cara terpenting pembangunan. Kedua pengertian ini masing-masing dapat disebut sebagai ‘peran konstitutif’ dan ‘peran instrumental’ kemerdekaan dalam pembangunan. Peran konstitutif berkaitan erat dengan makna kemerdekaan yang sesungguhnya (substantive freedom) dalam rangka memperbaiki kehidupan manusia. Makna sesungguhnya kemerdekaan mencakup kemampuan dasar untuk mencegah pengurangan hak-hak dasar (deprivation) untuk memperoleh apa yang dibutuhkan, seperti kelaparan, kekurangan gizi, kemampuan baca tulis, kesempatan berusaha, menikmati peran serta politik, bebas berbicara tanpa sensor. Dalam pandangan konstitutif ini, pembangunan semestinya berusaha memperluas ruang bagi tercapainya semua bentuk kemerdekaan pokok tersebut.[4].
Pemimpin Ideolog
Sejarah telah mencatat bahwa kita sempat dikaruniai pemimpin dengan kapasitas seorang ideolog, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir maupun M.H. Thamrin. Mereka tidak hanya merumuskan pandangan hidup bangsa, tetapi juga mampu menggerakkan seluruh rakyat kearah yang diinginkan.
Dalam situasi carut-marut sekarang, kita butuh kehadiran seorang pemimpin ideolog yang memahami cita-cita ketika NKRI dilahirkan dan mampu menggerakkan warga Indonesia kepada cita-cita bersama. Pemimpin ideolog yang memiliki kemampuan konseptual, kemampuan pengarahan, dan kemampuan penggerakkan. Bukan pemimpin bertipikal politisi yang melakukan segala hal dengan pertimbangan konsesi politik. Kita tidak memerlukan pemimpin yang hanya pandai beretorika dan memoles citra. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mewujudkan apa itu makna merdeka.
Pemimpin ideolog jelas tidak akan menggunakan partai sebagai kendaraan politiknya, karena seorang ideolog merasa konsepsi dan cita-citanya terkerdilkan dengan bergabung dalam satu partai. Pimpinan seperti itu akan membentuk kekuatan ketiga (the third force), kekuatan alternatif yang menentukan.
Baca Juga :
Sebab Jatuh Bangunnya Sebuah Bangsa
http://sosbud.kompasiana.com/2011/08/08/sebab-jatuh-bangunnya-sebuah-bangsa/
Narko-Kolonialisme ala CIA
http://www.dialogika.tk/2011/07/narko-kolonialisme-ala-cia.html
[1] Robert H. Dorff, "State Failure and Responding to It," Annual Convention of the International Studies Association, New Orleans: 2002, hal.4.
[2] Stein Sundstøl Eriksen, The Theory of Failure and the Failure of Theory: “State Failure” in Theory and Practice, hal. 3.
[3] Amartya Sen, Kemerdekaan : Tujuan dan Cara Pembangunan, Jurnal Wacana, Edisi 5 tahun II, 2000, hl. 103,
[4] Ibid.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI