Mohon tunggu...
Diajeng Ayu Putri Sukandi
Diajeng Ayu Putri Sukandi Mohon Tunggu... Lainnya - I love my self

being mature enough to write

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Di Tengah Ladang Tandus Jurnalisme 2.0

11 Oktober 2017   11:58 Diperbarui: 11 Oktober 2017   12:07 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jurnalis adalah profesi yang keren. Berseragam, mendapat presscard (kartu identitas ajaib, karena bisa masuk beberapa lokasi wisata dengan cuma-cuma), dan bisa traveling ke berbagai tempat. Pokoknya menjadi seorang jurnalis itu menyenangan" --Penulis-. Tapi, itu semua hanya hayalan semu. Segala kemudahan dan keajaiban yang ada akan sirna, ketika sudah turun lapangan dan lebih dalam mengenal profesi jurnlistik. Menjadi seorang jurnalis tidak se-have fun itu. Ada tugas dan tanggung jawab penting yang harus diemban.

Sebagai seorang mahasiwa yang "memilih" konsentrasi jurnalistik, tentu bukan hal yang mudah. Jurnalisme media online adalah tantangan yang harus dihadapi. Perkembangan dunia jurnalistik sejatinya tidak terlalu membawa keuntungan bagi mahasiswa jurnalistik. Dalam pandangan penulis sebagai mahasiswa jurnalistik, dewasa ini fenomena citizenjournalist tentu merupakan ancaman bagi mereka yang menempuh sekolah kejurnalistikan. Betapa tidak, ketika semua orang memiliki kemampuan untuk mulai terjun di bidang jurnalistik, maka untuk apa mendalami ilmu tersebut? Modal awal seorang jurnalis adalah kemampuan menulis, dan semua orang bisa menulis. Maka, ketika seorang mahasiswa teknik sipil dan ekonomi akuntansi memutuskan untuk bergabung dalam bidang jurnalistik, tentu tidak masalah, selagi mereka bisa menulis dan tulisan mereka menghasilkan klik atau like.

Lalu apa yang bisa dilakukan mahasiswa jurnalistik? Tantangan apa yang mereka hadapi? Dan kemampuan apa yang harus mereka perdalam? 

Berdasarkan materi Future of Journalism -- Bernard Shaw dalam Ayo Menulis FISIP UAJY dijelaskan bagaimana perkembangan dan prospek ke depan dari junalisme online. Salah satunya adalah model jurnalisme 2.0 yang lebih menekankan pada komunitas. Di jaman sekarang ini, orang dengan mudah menulis berita. Kontributor media di beberapa daerah tidak lagi harus mereka yang mahasiwa jurnal. Siapapun yang mau menulis dan bisa menulis boleh-boleh masuk industri media.

Maka, hal mutlak yang harus dilakukan oleh mahasiswa jurnalistik adalah mempertajam KUALITAS menulis. Selain pengetahuan seputar etika dan segala syarat dan prasayarat, tentunya sebagai seorang "calon" jurnalis, sedari kuliah sudah ditempa untuk selalu berpikir, menganalisis berita, mecari berita, dan yang paling penting menulis. Semakin sering menulis, maka akan semakin mudah seorang jurnalis memproduksi berita. Namun, tentunya dalam produk tulisan tersebut harus tajam dan detail. Menjamurnya portal berita online membuat banjir informasi di mana-mana. Hal ini membuat orang bingung dalam konsumsi pemberitaan. Ditambah cepatnya alur pemberitaan dalam jurnalisme online membuat orang mau tidak mau juga harus ikut cepat agar tidak ketinggalan. Namun, sayangnya ketika kecepatan dan konten berita tersebut berbanding terbalik dengan kredibilitas dan responsibility pemberitaan, maka hal tersebut akan merugikan masyarakat.

Dok. Cah Jurnal
Dok. Cah Jurnal
Seperti yang sudah dijelaskan di awal kaliamat, bahwasanya menjadi seorang jurnalis itu tidak mudah, ada beban yang harus dipikul. Beban tersebut tak lain adalah pertanggung jawaban atas apa yang sudah ditulis. Pertanggung jawaban atas pembaca, atas nama media yang menanungi, dan atas dirinya sendiri. Informasi adalah hal krusial yang harus disajikan secara benar dan kredibel. Namun, tidak dengan portal berita yang sekarang. Sejauh pengamatan penulis, dalam beberapa kali melihat dan membaca portal berita online, terdapat beberapa portal berita yang dalam pemberitaannya hanya menuliskan bagian luar dari sebuah peristiwa. Tidak ada detail dan laporan lengkap dari peristiwa tersebut.

Ibarat buah, hanya kulit saja yang ditulis, buah, bahkan bijinya tidak ditulis. Terlebih lagi beberapa portal berita terkadang memberitakan apa yang sebenarnya tidak diperlukan oleh masyarakat. Berita bombastis misalnya, atau berita tentang artis. Masyarakat tidak butuh itu, mereka lebih butuh informasi kenaikan harga beras dan atau kondisi masyarakat di Indonesia bagian timur. Berita dengan konten yang kopong tentu bukan merupakan sebuah produk jurnalistik. Spekulasi penulis adalah, mereka yang menulis berita tersebut bukan merupakan veteran mahasiswa jurnalistik. Hal itu membuat mereka kurang memperhatikan kode etik penulisan naskah jurnalistik. Namun, sadar sering mendapat kritik pedas terkait pemberitaan yang dipublish, media online dewasa ini mulai berbenah. Mereka sudah memperbaiki kualitas pemeberitaan dan kualitas konten. 

Kembali ke mahasiswa jurnalistik. Selain kualitas tulisan, jurnalis juga harus mempertajam Attention, Language, Access dan Cencorship. Attention di sini terkait perhatin pembaca. Seorang jurnalis harus bisa menentukan topik apa yang harus ditulisnya. Apakah topik tentang apa yang ingin diketahui orang atau topik yang sedang hangat dibicarakan. 

Mereka harus bijak menentukan hal itu tanpa menanggalkan kredibilitas. Selanjutnya terkait Language, baik pengunaan bahasa asing dan pemahaman istilah asing. Seiring dengan pesatnya globalisasi, maka tentu bahasa juga ikut larut dalam arus globalisasi. Jurnalis dewasa ini selain harus mengerti bahasa inggris, mereka juga harus paham istilah asing yang populer, seperti istilah korea, jepang, dan spanyol. Oleh karenanya jurnalis masa sekarang ini dituntut kaya pengetahuan umum dan kaya bahasa. Kemudian, Access ini terkait kemudahan akses. 

Perlu dipahami bahwa tidak semua kalangan bisa mengakses jurnalisme online. Hal ini terkait sarana dan prasarana atau bahkan konten. Berhubungan dengan konten, jurnalisme online diharapkan bisa menjamah kaum dalam balutan spiral of silence atau kaum marginal. Mereka yang suaranya tidak bisa didengarkan di media menstream, diharapkan bisa disuarakan di media online. Hal ini menjadi tugas seorang jurnalis. Maka, dia harus tahu prihal akses ini lebih dalam dan menyeluruh. Kemudian yang terkahir adalah Cencorship. Agar tetap lulus sensor, media online juga harus memperhatikan kode etik yang ada. 

Ini menjadi tanggung jawab jurnalis ketika dia melakukan news gathering. Seperti yang sudah diajarkan dalam dunia perkuliahan, tentu mahasiwa jurnal tahu bahwa penerapan kode etik dalam news gathering menjadi satu hal yang mutlak dan krusial. Guna menghindari sesuatu yang tidak diinginkan seperti sensor ini, maka penerapan kode etik jurnalistik menjadi wajib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun