Perkembangan teknologi yang semakin pesat, tentu sudah tidak bisa dibendung lagi. Segala penjuru dalam lini kehidupan rasanya sudah dimasuki oleh yang namanya teknologi. Termasuk teknologi informasi dan komunikasi yang juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perlahan membawa pengaruh dalam perkembangan medium berita.
Jika mengulang sejarah perkembangan jurnalisme, maka medium awal berita tentu adalah kertas, yang diolah sedemikian rupa sehingga muncul wujud koran, majalah, dan lain sebagainya. Lalu, memasuki tahun-tahun awal perkembangan internet, mulailah terkenal generasi pertama internet komersil, yakni Web 1.0 (1996) atau  World Wide Web oleh Tim Barners Lee dengan basis read only web yang tidak terlalu interaktif (Patel, 2013).
Kemudian, muncul Web 2.0 (2006) sebagai generasi generasi kedua dengan basis read and write web. Generasi kedua ini lebih interaktif, hal itu ditantai dengan munculnya fitur tagging dan linking seperti Flicker, Bloger, Wiki dan Youtube. Lalu, Web 3.0 (2016) hadir dengan basis read, write and execute web yang bisa dioperasikan dengan mobile phone (Patel, 2013). Borlands (2017) dalam artikelnya A smarter web: new technologies will make online search more intelligent--and may even lead to a "Web 3.0."menyebtkan bahwa Web 3.0 adalah teknologi web dengan akses mobile broadbandyang meluas ke layanan web dengan layanan perangkat lunak on demand. Sejauh ini sudah muncul hingga Web 4.0 dan Web 5.0. Namun masih sedikit sekali litelatur yang membahas dua web dan keterkaitannya dengan dunia jurnalaistik, sehingga membuat penulis membatasi hanya sampai Web 3.0.
Perjalanan dari Web 1.0 sampai 3.0 tentu merupakan sebuah kemajuan yang luar biasa. Dalam produksi dan penyampaian produk jurnalistik ketiganya tentunya memiliki perbedaan satu sama lain. Hal yang paling menonjol terletak pada produksi konten. Pada Web 1.0 hanya perusahaan berita yang memproduksi dan menerbitkan konten berita, audience hanya bisa mengkonsumsi konten yang diproduksi dari perusahaan media tersebut (BBC yang produksi konten, masyarakat mengkonsumsi konten).Â
Berbeda dengan Web 2.0 yang semua orang bisa menerbitkan konten yang akan dikonsumsi oleh orang lain, sedangkan perusahaan media membuat platform yang digunakan orang untuk menerbitkan konten yang akan dikonsumsi oleh orang lain (Youtube, Flicker, Blogger). Kemudian, pada Web 3.0 orang mulai membuat aplikasi yang mana orang lain bisa berinteraksi di dalamnya, kemudian perusahaan media tetap membangun platform, namun kali ini orang tidak hanya bisa menerbitkan konten tapi juga bisa menerbitkan atau mendapatkan layanan dari platform tersebut (Facebook, Goole with Google Maps VR, My Yahoo!) (Patel, 2013).
Begitu banyak kemudahan yang ditawarkan melalui evolusi web. Hal ini lantas tidak didiamkan begitu saja oleh perusahaan media. Mereka samakin berlomba-lomba membuat aplikasi atau bekerjasama dengan aplikasi yang ada. Ditambah lagi, melalui Web 3.0, semua mobile phone sudah saling terhubung dengan berbagai informasi bahkan platform dan situs berita yang ada.
Sejak diperkanalkannya iPad dan sistem android, rasanya Web 3.0 semakin menguasai pangsa pasar. Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Web 3.0 terhadap jurnalisme online adalah munculnya e-paper. Seolah membaca peluang, kemunculan Web 3.0 membuat perusahaan media segera beralih dari bentuk konvensional menuju bentuk digital. Tak tanggung-tangung, perusahaan media besar seperti Kompas dan Jawa Pos langsung membuat koran mereka ke dalam bentuk elektronik paper atau e-paper.
Terlepas dari akurat, tajam, dan kredibel, cepat masih menjadi primadona yang membuat para jurnalis media online bersaing secara ketat. Namun, dengan persaingan yang semakin ketat ini maka kecepatan sudah berubah menjadi ladang bisnis. Jurnalisme online era ini adalah jurnalisme kapitalis yang telah "menciptakan" bias antara produk jurnalistik dengan non-jurnalistik. Bias ini, semakin kentara tatkala media online mulai mengkaburkan mana yang pantas disebut berita jurnalistik dan berita non-jurnalistik. Peg Corner dalam Kususmanigrat memberikan kritiknya dalam praktik jurnalistik yang relevan dengan masa sekarang:
"The regular capitalist press is a business which is operated for a profit and not as a culture enterprise. It prints what is in its own self Interest, what is sensational news that will attract purchasers -- not what will educate or will promote the general welfare. It often is also a "literatur" of escape from the fears and pressures of an unstable economics system from the horrors of the atomic war (which is also sponsor) and from the empty cultural life. It keeps the average man from thinking too much about his employer or his government and its policies, by sensational treatment of sex, gangsterism, sport and comics" (Kusumanigrat, 2016, hal 67-68).
Produk jurnalistik yang layak disebut berita jurnalistik adalah ia yang mengandung unsur layak berita dan sesuai dengan sembilan elemen jurnalisme, bukan mereka yang cepat dan yang mendapat banyak like. Â
Unsur layak berita terdiri dari, berita harus akurat, berita harus lengkap, adil dan berimbang, berita harus objektif, berita harus ringkas dan jelas, dan berita harus hangat. Tak lupa yang terpenting, sebuah liputan berita adalah tentang sebuah perisiwa yang penting dan menyangkut orang banyak (Kusumaningrat 2016). Jika sebuah berita sudah memenuhi beberapa unsur tersebut, maka berita tersebut bisa dikatakan layak.