Sedikit beropini ah..
Membaca tulisan om Doddy Poerbo berjudul “Mengapa Ibukota Harus Berpindah?” pagi ini membuat saya urun komentar di lapak Om Doddy. Dalam tulisannya om Doddy menyoroti kenapa Jakarta menjadi macet dan bagaimana alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Saya menjadi gatal untuk berkomentar disana. Komentar gatal saya pada intinya adalah komentar yang bernada setuju dengan cara pandang Om Doddy.
Ini komentar saya
Sekarang ini sudah tidak ada lagi yang namanya mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan, tapi yang ada adalah kepentingan untuk sebagian golongan harus selalu tercapai. Akibatnya, setiap terjadi pergantian pemerintahan, maka kepentingan partai (sebagaian golongan itu) lah yang harus tercapai, bukan kepentingan rakyat. Jadilah semuanya semrawut. termasuk dalam penataan kota dan pemerataan pembangunan.Pembangunan negeri ini tidak merata, semua terpusat di Jakarta. Jakarta Sentris. padahal, jika dikaji lagi, Indonesia ini memiliki wilayah luas dengan potensi masing-masing. Karena ketidak merataan inilah, akhirnya warga daerah berbondong-bondong menyerbu ibukota untuk mengadu nasib. Karena di Jakarta lah segala sumber uang tersedia. hal ini menimbulkan ekses2 sosial negatif, salah satunya MACET!!!Coba, kalau misalnya pemprov DKI sedikit ‘mempersulit’ ijin usaha pembukaan kantor pusat perusahaan swasta, mungkin pihak swasta akan sedikit menggeser kantor pusat-kantor pusatnya ke pinggiran jakarta atau mungkin malah di luar Jakarta. Dengan begini, setidaknya para pekerja tidak terkonsentrasi di Jakarta. mungkin, dampaknya perputaran uang akan terjadi di daerah dimana terdapat kantor-kantor tersebut. dan para pengadu nasib pun akan ‘mendekati’ pusat perputaran uang tersebut.
Setelah saya pikir-pikir, kayaknya harus ada penjabaran yang agak panjang nih dari komentar saya tersebut. Maka saya ‘memaksakan’ diri menulis opini ini, meskipun saya sadar bukan berada dalam kapasitas saya.
Opini tersebut adalah pemikiran mentah saya yang belum begitu paham dengan ilmu tata kota. Meskipun saya tidak berada di ibukota, dan saya bukanlah pengamat tata kota, namun rasanya permasalahan kompleks Ibukota ini masuk juga di kepala saya. Sebab ada banyak kawan saya yang mengadu nasib di Ibukota.
Ada dua hal yang menjadi sorotan saya dalam opini di atas. Pertama adalah kepentingan rakyat yang sudah tidak lagi menjadi tujuan utama pembangunan, dan kedua adalah kondisi pembangunan yang sangat Jakartasentris.
Tentang yang pertama, sebenarnya ini adalah kajian politis. Saya tidak suka berbicara politik. Namun, memang begitulah kenyataannya saat ini.
Kalimat “Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan individu atau golongan” sudah tidak ada lagi. Sekarang adalah kebalikannya yang dipakai. “Mengutamakan kepentingan individu dan golongan di atas kepentingan umum.” Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial masyarakat. Kepentingan-kepentingan rakyat sudah tidak ada lagi yang memperdulikan. Kalau pun perduli, tidak sebatas proyek semata. Teteup, ujung-ujungnya isi perut!
Bahwa saat ini kepentingan kaum elit politik lah yang menjadi tujuan yang harus tercapai pada saat mereka berkuasa. Partai pengusung penguasa berlomba-lomba menempatkan orang-orangnya demi tercapainya tujuan partai itu sendiri. Mereka hanya sibuk mengurus dirinya dan juga “amanat” dari partainya.
Hal inilah yang menjadi faktor pemicu tidak terjadinya akselerasi pembangunan di negeri ini. Pucuk-pucuk pimpinan hanya sibuk dengan urusan “meng-goal-kan” tujuan partainya. Rakyat hanya kebagian sisanya.
[caption id="attachment_289041" align="aligncenter" width="224" caption="Salah satu pusat Jakarta - HS.2010"][/caption]
-hs-
[caption id="attachment_289047" align="aligncenter" width="224" caption="Pembangunan tak henti-henti di Jakarta - HS.2010"][/caption]
Pemikiran kedua adalah tentang kebijakan Pemprov DKI yang agaknya harus ditinjau ulang dalam memberikan ijin usaha kepada para pengusaha. Pemprov DKI lebih baik memberikan proyek-proyek pembangunan tempat usaha ini kepada Pemprov atau Pemda di sekitarnya. Entah Banten, Jawa Barat, atau mungkin Lampung sekalipun.
Tapi mana mau sih melepaskan proyek ber-uang besar kepada pihak lain. Inilah yang saya bilang mengutamakan kepentingan golongan/individu di atas kepentingan umum. Akibatnya seperti yang saya tulis di atas. Semua menjadi serba Jakartasentris. Pembangunan hanya melulu terjadi di Jakarta. Hal tersebut sebenarnya hanya akan menambah beban sosial Pemprov DKI, karena itu akan menjadi magnet bagi orang-orang daerah untuk mengadu nasib di Jakarta.
Saya tulis dalam komentar tersebut, Pemprov DKI agaknya harus sedikit “mempersulit” ijin usaha pembukaan kantor-kantor pusat perusahaan swasta di Jakarta. Saya tekankan mempersulit disini bukan untuk menyulitkan dari segi birokrasi, namun memberikan peluang kepada para pelaku usaha untuk membuka kantor tidak di Jakarta. Tentu saja ini dibutuhkan kesadaran juga dari para pelaku usaha tersebut. Karena bagaimanapun, pihak swasta adalah salah satu kontributor dalam pembangunan dalam negeri.
Dengan berpindahnya kantor-kantor swasta ke luar Jakarta, maka otomatis, perputaran uang pun akan berpindah ke tempat dimana kantor-kantor tersebut berada. Dengan begitu, orang-orang yang tadinya tertarik untuk berkumpul di Jakarta, menjadi berpindah dan berkumpul di kota dimana terdapat kantor-kantor tersebut.
Sulit? Agaknya demikian. Tidak akan mudah untuk memindahkan pusat kegiatan ekonomi karena pelaku usaha pasti menginginkan tidak berada jauh dari pusat pemerintahan. Maka dibutuhkan kesadaran semua pihak untuk terlibat dalam memajukan negeri ini. Dari pada mewacanakan pemindahan ibukota namun tak kunjung ada realisasi, mending pindahkan saja kegiatan ekonomi ke daerah-daerah lain yang berpotensi dan menjanjikan.
Ah, ini Cuma sekedar opini pagi saja. Mungkin tak berisi, mungkin juga tak dapat dimengerti. Tapi lumayan lah, sebagai bacaan teman minum kopi. Semoga ini menjadi opini lain selain opini pemindahan Ibukota yang tak pernah terjadi.
Anda punya opini juga? (HS).
Jenuh. Kakimanangel – 14102010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H