Setiap pagi deretan gerobak kulineran berjajar rapi di sepanjang jalan Ciheuleut. Namun terlihat kerumunan mencolok di seberang SMA 3 Bogor. Beberapa meter dari es durian Ali yang tengah viral. Di sanalah, di bawah rindangnya pohon, sebuah gerobak Ketoprak sederhana milik Mas Medi menjadi saksi bisu dari begitu banyak cerita dan kenangan.
Bagi banyak orang, ketoprak hanyalah sekadar hidangan. Namun, bagi saya, selain rasanya yang lezat karena bumbunya yang medok ketoprak Mas Medi adalah lambang dari kerja keras, ketekunan, dan kehangatan seorang penjual makanan yang tidak pernah kehilangan senyumnya.
Rahasia Menjalani Hidup
Sebagai warga Bogor beberapa tahun terakhir saya adalah pelanggan Ketoprak Mas Medi karena lokasinya berjualan tidak jauh dari rumah. Mas Medi berasal dari Palimanan Cirebon yang telah berjualan ketoprak sejak tahun 2014. Ia melanjutkan profesi ayahnya sebagai penjual ketoprak. Namun, ada yang berbeda dari kisah Mas Medi—ia memilih jalan ini atas keinginannya sendiri, dan dengan ketulusan serta dedikasi.
Setiap hari, dia dengan setia menyiapkan bahan-bahan seperti toge, bihun, ketupat, dan tahu yang kemudian disiram dengan bumbu kacang yang khas. Bumbu kacangnya, yang diracik dengan sempurna, selalu meninggalkan rasa ingin kembali bagi siapa saja yang mencicipinya. Dengan harga hanya Rp10.000, ketoprak Mas Medi tidak hanya ramah di kantong tetapi juga memanjakan lidah.
Mas Medi memulai usahanya dari nol. Dari hasil tabungannya, ia membeli sebuah gerobak dan mulai menawarkan ketoprak lezatnya kepada masyarakat sekitar. Tak disangka, ketoprak buatannya mendapatkan sambutan hangat, bahkan ada pelanggan yang rela datang dari Tangerang hanya untuk menikmati seporsi ketoprak buatannya.
Sambil mengulek bumbu Mas Medi tetap sigap menyambut pelanggan yang datang. "Mau nunggu nggak, masih 8 porsi lagi,” begitu katanya.
Untuk menikmati kelezatannya orang harus sabar menunggu karena antrian yang panjang. Kenapa tak pakai asisten, tanya saya. Jawabannya cukup membuat hati saya terpotek. "Rezeki sudah ada yang ngatur, Bu. Gapapa pergi satu nanti ada gantinya seribu."