Oleh Diah Trisnamayanti
Aku hampir saja menaikan bendera putih
Di kepala ku
Harumnya dunia tak lagi mewangi,
Hanya ada bau busuk sana sini.
Tapi Tuhan masih percayakan jiwa dalam
Watak yang mengerat
Sana sini.
Aku hidup hanya untuk bertahan hidup.
Aku kuat ketika Tuhan bersamaku,
Cobaannya menguatkan hakikiku untuk berjalan tanpa menoleh
Ke kanan dan ke kiri.
Lembaran kosong berganti menjadi penuh tulisan
Ucap janji tak kentara di benak dan hati,
Lembaran bertumpuk dan menebal
Perlu klip kehidupan
Dalam berlari menggambar lengkung, garis dan titik-titik.
Terkadang imanku goyah ketika
Hitungan detik tak terekam, jerih payahku bukan kerja cerdas katanya.
Dengan keringat yang mengucur deras saat ku berlari memanggil asa agar
melepas beban di pundakku;
sayangnya, terkadang asaku melayang terhenti
Menanti tanggal berganti.
Perjalanan itu mungkin masih panjang,
Mungkin juga pendek.
Semua orang butuh dukungan
Dan punya kepentingan.
Mana mungkin perduli pada
Orang yang tiap jengkal berpikir tentang dirinya.
Lembar itu kini penuh gejolak,
Tak putih seperti semula.
Belagak seperti pemilik toko emas
Tak satupun emas ada dalam brankas.
Cukuplah ceritaku tertutup kain kanvas dalam
Karya berdarah.
Jika iman tak tertera dalam jiwa, semrawutnya hidup ini
Tak kan terurai dalam bisa yang
Menghisap darah hingga
Tulang.
Cuma helaan nafas menggerakkan
Gelembung nadir
Yang bergemuruh di dada sampai ke kepala.
Tuhanku hanya satu-satunya dan
Aku percaya padaNya,
Aku tahu Engkau selalu melindungi kami
Biarkan aku menangis di bahu Mu
Agar hidupku tenang hadapi sejumput masalah yang
Terekam setiap waktu.
Medio Bandung, 9 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H