Mohon tunggu...
diah surya
diah surya Mohon Tunggu... -

Seorang pengajar di Singaraja-Bali

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wanita Ini Istri Suamiku

18 Desember 2010   13:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:37 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wanita ini istri suamiku. Kuakui dia cantik, parasnya lumayan, kulitnya bersih, dia lebih muda dariku. Sungguh tak menyangka ada dia dalam kehidupanku saat ini.

Saat kuketahui hubungan mereka, kami bertengkar hebat. Pertengkaran terlama dan terhebat sepanjang hidupku. Anak-anak menjerit dan menangis merasakan aura ketegangan diantara kami. Tak bisa kutahan segala kekecewaan di hatiku. Hidup yang semula kupikir sempurna ternyata tidak ada apanya, semuanya retak, hancur berkeping-keping.

Aku kalut, marah, kesal, dan tak percaya dia menghianatiku. Aku harus berpikir jernih. Keputusanku adalah awal dari masa depanku, masa depan kami, dan anak-anak. Aku ingin pergi, lari dari semua ini, menapaki hidupku sendiri tanpa penghianatan dan kebohongan, tapi aku juga tak ingin anak-anakku hidup terpisah dengan orang tuanya, mereka masih terlalu kecil dan naïf untuk menjalani semua ini. Aku diam, aku merenung, kuenyahkan semua perasaanku, karena itu sudah tidak penting lagi (kuharap begitu), lelaki yang kusebut suamiku sekarang sudah tidak punya nilai lagi dihatiku, dia hanya ayah dari anak-anakku. Hanya itu, tidak lebih.

Dan… aku telah membuat keputusan. Keputusan yang telah kipikirkan matang-matang. Mungkin bagi orang lain aku sudah gila atau tidak waras, mungkin orang lain menertawakanku sekarang ini, tapi aku tidak peduli, bukan mereka yang menjalani semua ini, yang kupedulikan hanyalah anak-anakku.

Ya… wanita itu disini, di rumahku, di hadapanku sekarang ini. Dia istri suamiku, nak-anakku tidak perlu menyebutnya ibu, kalaupun mereka memanggilnya ibu suatu saat nanti, ya aku sudah tidak peduli. Kukatakan pada suamiku waktu itu, aku tidak ingin bercerai dengannya (tepatnya belum ingin), bukan karena aku sangat mencintainya, cinta yang dulu kuagungkan telah menguap sejalan dengan meluapnya kemarahanku.Aku ingin dia tetap bersamaku setidaknya sampai aku bisa menunjukkan pada anak-anakku kami adalah orang tuanya apapun yang terjadi, dan jika saatnya tiba dan aku siap untuk berpisah, mereka bisa paham dan tidak membenci orang tua mereka. Dan suamiku menyetujui perkataanku. Mungkin dia merasa menang, senang, bangga, dan dia bisa tunjukkan pada orang-orang dialah raja. Aku tidak peduli. Apapun itu, aku tidak peduli.

Ini keputusanku….

Mungkin benar aku sudah gila. Biarlah. Aku sudah tidak bisa melihat kebahagiaan dihidupku. Dulu aku begitu mencintainya, dan sekarang aku tak ingin membencinya, hanya akan melukai perasaan anak-anakku saja. Semuanya hampa. Aku sudah gagal. Bukan ini yang kuinginkan dalam hidupku. Bukan ini yang kucita-citakan waktu aku ramaja dulu. Aku rapuh, tapi aku tidak ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku sangat rapuh. Biar kusimpan sendiri saja. Aku tidak peduli apa kata orang terhadapku. Kurasa aku sudah tidak bisa mencinta lagi. Kalaupun aku memulai hidup baru dengan seseorang yang baru, kurasa aku tidak bisa mencintainya dengan tulus, kasihan dia. Sudahlah….

Ini keputusanku. Saat anak-anakku sudah siap nanti, aku akan bebas menjalani hidupku sendiri. Hanya aku….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun