Mohon tunggu...
Diah Sukmawati Malik
Diah Sukmawati Malik Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lagi suka sinema, sastra, Skandinavia, & sosialisme.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ironisnya Piala Dunia yang Tak Terkuak Media

15 Juni 2014   20:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:37 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam kemarin ketika saya bangun, saya melihat ada 6 misscall di ponsel saya serta beberapa chat dari teman. Isinya mengingatkan (atau membangunkan) untuk menyaksikan upacara pembukaan Piala Dunia FIFA 2014.

Saya tidak menyesal atau apa tidak menyaksikan perhelatan yang biasanya sangat mewah dan spektakuler tersebut. Berbeda dengan empat tahun sebelumnya, bahkan dua tahun sebelumnya saat EURO. Saya membeli tabloid spakbola yang berhadiah merchandise dan cd tentang piala dunia, saya begadang, membeli jersey dan sebagainya karena saat itu sangat bersemangat dengan sepakbola.

Tapi tahun ini berbeda, saya adalah mahasiswi tingkat akhir yang terlalu banyak menelan buku-buku mengenai sosialisme. Sejak beberapa bulan yang lalu, beberapa media menayangkan tentang demonstrasi dan penolakan perhelatan Piala Dunia di Brazil karena pemerintah yang korup, penggusuran, dan alokasi dana yang sebetulnya diperlukan untuk kepentingan lain habis digunakan untuk melicinkan acara Piala Dunia. Lalu saya melihat postingan buzzfeed tentang rural art yang tidak ingin fifa lihat yaitu gambar seorang anak kelaparan dengan sepiring bola didepannya, dengan bahasa sederhana anak muda bisa kita ungkapkan dengan "Makan tuh bola!"

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan ketika suatu negara lebih mengutamakan menyenangkan korporat dan sponsor untuk menyelenggarakan acara semewah piala dunia sementara hak-hak warga miskin di Brazil semakin tergusur.

Saya benci ketimpangan. Apalagi melihat ketimpangan atlet-atlet sepakbola yang bergaji milyaran euro hanya dengan menendang bola dan bergaya untuk iklan produk kesehatan/olahraga/ketampanan (terserah) sementara itu warga Brazil, pekerja bangunan yang berkeringat siang malam tidak bisa memiliki asuransi jiwa. Perusahaan minuman memberi kesempatan untuk beberapa orang beruntung untuk menonton Piala Dunia dan merasakan menjadi warga dunia yang "disatukan oleh sepakbola" sementara CSR nya bermasalah di beberapa negara. Yap.

Semakin banyak hal yang tidak beres tentang penyelenggaraan piala dunia di negara berkembang, seperti tahun ini dan sebelumnya di Afrika Selatan. Memang hal itu bisa dimanfaatkan untuk diplomasi publik bahwa negara tersebut mampu menjadi tuan rumah yang baik, aman dan semacamnya. Keamanan tidak pernah akan ada tanpa perut yang kosong dan ketertindasan.

Oleh karena itu, saya sebenarnya saya berharap Indonesia lebih baik tidak terlalu berambisi menjadi tuan rumah piala dunia hanya demi gengsi dan tiket lolos babak grup pertama. Berjaya di bidang olahraga sangat baik, tapi alangkah lebih baiknya jika fokusnya berjaya di bidang kesejahteraan, pendidikan dan teknologi karena hal tersebut yang lebih relevan dalam mendorong lebih banyak perubahan positif yang nyata bagi negara.

Oleh karena itu saya tidak tertarik dengan piala dunia tahun ini. Because the suffer isn't worth the excitement.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun