Mohon tunggu...
Diah Priharsari
Diah Priharsari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan peneliti transformasi dijital + sosial media

Saya suka meneliti tentang transformasi dijital dan masyarakat dijital

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perubahan Kebijakan di Dunia Pendidikan Tinggi tentang Penyederhanaan Kompetensi

9 September 2023   01:12 Diperbarui: 9 September 2023   01:22 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perubahan kebijakan di dunia Pendidikan Tinggi Tentang Penyederhanaan Kompetensi: Apakah di lapangan nanti akan menjadi paket sama berbeda bungkus

Sebagai seorang dosen yang sudah beberapa kali merumuskan kompetensi lulusan program studi tempat saya bekerja dan juga telah membimbing mahasiswa dalam skripsi, saya termasuk salah satu yang menyambut baik inisiatif pemerintah dalam menyederhanakan kompetensi.

Terus terang, sebelumnya, kompetensi yang sudah dijabarkan dalam permendikbud nomor 3 tahun 2020 cukup memusingkan. Misalnya, kompetensi sikap mampu menunjukkan sikap relijius. Saat akreditasi, kami dipusingkan dengan pertanyaan, bagaimana mengukur sikap relijius? Selain itu, sangking banyaknya kompetensi yang sudah "titipan" dari pusat, begitu sampai di prodi, sudah habis slotnya untuk menyisipkan kompetensi prodi. Alhasil biasanya (dulu), capaian kompetensi sebuah prodi bisa banyak sekali sampai belasan bahkan sampai hampir dua puluh. Pertanyaannya, bagaimana caranya bisa dicapai dengan kompetensi sebanyak itu? Itu juga yang memusingkan saya saat bertugas menjadi tim kurikulum.

Dengan diberikan kemerdekaan menentukan kompetensi yang diberikan ke universitas dan program studi, ini menjadi angin segar bagi setiap prodi dan universitas untuk semakin meng-highlight keunikan universitas dan program studi yang selama ini tersembunyi dalam timbunan kompetensi "titipan" pemerintahan pusat.

Namun, sama seperti kebijakan-kebijakan yang lain, saya sebagai pelaku operasional di lapangan, agak ketir-ketir juga, atau mungkin menyambut sambil tersenyum agak kecut. Apakah ini nanti jadi seperti door price bodong? Kekhawatiran pertama saya disebabkan oleh panjangnya jalur perintah yang membuat praktek di lapangan sudah berbeda jauh dengan semangat asli yang ingin ditebarkan oleh pemerintah.

Tentunya ini bukan karena tanpa sebab. Pernah kala itu terdapat aturan terkait kemudahan naik jabatan ke professor untuk menarik dosen-dosen berbakat yang ternyata pada kenyataannya, banyak beberapa dosen berbakat tetap kecewa karena meski ada syarat kemudahan, syarat tersebut dibarengi dengan administrasi yang masih memberatkan. Saya ingat, teman saya kala itu akhirnya memutuskan untuk berpindah menjadi dosen di Jepang karena sangat kecewa dengan syarat administrasi dalam proses lompat jabatan kenaikan professor.

Saya merasa, rupanya, meski di pemerintahan pusat sudah ada semangat baik, pelaksanaan di lapangan tidak lepas dari petugas operasional yang biasanya memiliki perbedaan interpretasi pada peraturan dan juga memiliki agenda yang berbeda. Ditambah lagi adanya rantai birokrasi yang membuat petugas di paling ujung hanya bisa melaksanakan perintah seperti prosedur yang diajarkan. Misal, kurang satu tanda tangan saja, bisa batal rencana kenaikan pangkat. Akhirnya kemudahan yang baru, sebetulnya juga masih rumit dengan bungkus berbeda.

Itulah mengapa, beberapa rekan dosen saya tidak terlalu berantusias dengan adanya perubahan peraturan tersebut dan selalu menjawab dengan, "ya, lihat nanti saja di lapangan, seperti apa". Memang, apa yang ada di lapangan bisa sangat berbeda dengan apa yang disampaikan di pusat sehingga tidak mengherankan banyak teman-teman yang lebih pesimis.

Hal lainnya yang membuat khawatir adalah, pergantian kebijakan karena pergantian menteri. Beberapa rekan berkata, "ya program Merdeka dijalankan santai saja, khan belum tentu ganti presiden masih tetap ada". Perkara pergantian kebijakan ini memang sudah menjadi makanan sehari-hari, tidak hanya birokrat tetapi juga universitas. Misal, pergantian aturan penilaian kredit dosen. Setiap ada pengumuman perubahan peraturan, kami dosen-dosen selalu ketir-ketir, apakah artinya pencapaian yang sudah lalu tidak diakui dan akan sia-sia. Bercandaan dosen-dosen, "jadi professor itu perkara garis nasib, untung-untungan".

Apakah kebijakan ini menjadi kebijakan yang tampak hangat di awal lalu menjadi beku setelahnya?

Semoga saja apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Semoga pelaksana di lapangan juga menerima mandat dengan semangat yang sama dengan yang dimiliki oleh pemerintah. Semoga apa yang sudah diusahakan pemerintah pusat memang benar-benar akan membantu kemajuan perguruan tinggi di Indonesia agar dapat bersaing dengan universitas asing lainnya. Itu doa saya malam ini dan beberapa malam ke depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun