Mohon tunggu...
Diah Perwitasari
Diah Perwitasari Mohon Tunggu... -

Lulusan program master of science di program studi "Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan" (Extension and Development Communication - pascasarjana UGM, dan saat ini bekerja pada bidang community development di salah satu international NGO yang berwilayah kerja di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu, Pendidikan Karakter dan Permainan Tradisional

3 Desember 2013   15:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:22 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahukah, siapa guru pertama dalam hidup kita? Setujukah, jika saya mengatakan bahwa Ibu-lah guru pertama dalam hidup kita. Ya...sudah sepantasnyalah predikat “Guru Pertama” dalam hidup kita adalah Ibu kita masing-masing. Tapi, kenapa justru Ibu kita yang menjadi guru pertama kita? Bukankah, juga ada Ayah atau Bapak dalam hidup kita? Kalau begitu, mari kita coba telusuri bersama.

Pertama, Ibu adalah sosok pertama yang kita rasakan ketika kita lahir di dunia. Meskipun kita masih bayi; belum bisa melakukan penilaian, namun secara alamiah kita bisa merasakan adanya kehadiran dan kasih sayang dari seorang Ibu. Kita bisa merasakan hangatnya belaian, dekapan seorang Ibu. Dalam belaian dan dekapan itu, tahukah seorang Ibu, secara tidak kita sadari, melakukan hubungan komunikasi dengan kita (saat masih bayi). Ibu selalu meminta kepada anaknya kelak agar dia bisa menjadi orang yang berguna dan berbudi pekerti.

Kedua, bahasa pertama yang kita kenal adalah Bahasa Ibu. Secara harafiah, Bahasa Ibu diartikan sebagai bahasa pertama yang dipelajari seseorang, dan orang yang pertama mengajarkan bahasa pertama kepada kita (anaknya) adalah Ibu. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama mereka dari keluarga mereka, khususnya Ibu. Kepandaian dalam bahasa asli sangat penting untuk proses berikutnya karena Bahasa Ibu dianggap sebagai dasar cara berpikir.

Ketiga, tindakan atau perilaku yang dibawakan dalam kehidupan sehari-hari merupakan cerminan didikan dari seorang Ibu. Meskipun, tidak hanya Ibu yang berpengaruh dalam perilaku kita. Kita juga mendapatkan pengaruh dari lingkungan, misalnya seperti: guru, teman, media televisi, dan masih banyak lagi. Namun, peran Ibu dalam mendidik kita tentang bagaimana cara berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat sangat berpengaruh dalam membentuk karakter atau watak kita masing-masing. Misalnya, ada seorang anak yang sangat nakal dan terkadang sering mencelakai anak yang lain. Siapakah yang pertama disalahkan dalam hal mendidik anak tersebut? Pasti seorang Ibu yang akan disalahkan pertama kali. Bahkan, sering ada pertanyaan: “Ibu-nya apa tidak bisa mendidik anaknya, ya...kok anaknya kelakuannya seperti itu?”.

Ibu adalah segalanya bagi anak karena Ibu adalah tempat: bertanya, mengadu, mendapatkan perlindungan, dan yang paling penting yakni membentuk karakter atau watak. Oleh sebab itu, peran Ibu sangat penting dalam membentuk kepribadian, khususnya karakter atau watak seorang anak. Bahkan, ada kata-kata mutiara: “Ibu yang berkualitas akan menghasilkan anak yang berkualitas pula”. Untuk menghasilkan anak yang berkualitas, tentunya tidak hanya diukur dari segi akademis saja, namun perlu dari segi psikologis atau kejiwaan, khususnya karakter atau watak.

Menurut Baron & Byrne, karakter merupakan aspek dari kepribadian yang ditinjau dari titik tolak moral ataupun etika. Jelasnya, karakter lebih menunjuk pada penggambaran tingkah laku seseorang dengan menonjolkan nila-nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit.

Hampir senada dengan itu, salah satu ahli Psikologi Perkembangan, Thomas Lickona, menjelaskan bahwa karakter berkaitan dengan konsep moral, sikap moral dan perilaku moral. Konsep moral lebih menunjuk pada ide abstrak tentang moral. Sikap moral sendiri lebih menunjuk pada respon terhadap stimulus (dalam hal ini konsep tentang moral). Sementara itu, perilaku moral lebih menekankan pada tindakan yang dilakukan setelah mendapatkan respon tentang konsep moral. Berdasarkan ketiga komponen tersebut, dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan, pemahaman dan keyakinan tentang kebaikan, kemudian dilanjutkan dengan keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan.

Berdasarkan uraian dari para ahli psikologi tersebut, penulis berpendapat bahwa dalam membentuk karakter yang baik pada anak, maka perlu adanya pendidikan karakter sedari dini pada anak. Pendidikan karakter di sini tidak hanya bersifat pembelajaran tentang nilai-nilai moral dan etika, namun yang lebih penting adalah bagaimana upaya penanaman nilai-nilai dan sikap yang berkaitan dengan moral dan etika.

Ada beberapa nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang perlu ditanamkan dalam diri anak, misalnya seperti: (1) Nilai yang berkaitan pada diri secara individu, misalnya seperti: kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, kepemimpinan, kerja keras, kreatif dan inovatif, percaya diri, dan sebagainya, (2) Nilai yang berkaitan dengan sesama, misalnya seperti: sportivitas, musyawarah, menghargai prestasi orang lain, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial, dan sebagainya, (3) Nilai yang berkaitan dengan lingkungan, misalnya seperti: peka terhadap lingkungan, menghargai keberagaman, cinta tanah air, dan sebagainya.

Menurut beberapa ahli dalam psikologi perkembangan, ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter. Penulis telah menyarikan beberapa sumber tentang metode untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak. Ada 4 metode yang dianggap efektif dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak, yaitu: (1) metode keteladanan, (2) metode latihan dan pembiasaan, (3) metode pujian dan hukuman, (4) metode aktivitas bermain atau permainan. Dari keempat metode tersebut, ternyata ada yang dianggap paling efektif dalam menanamkan pendidikan karakter, yaitu dengan metode permainan. Metode permainan dianggap paling efektif, karena anak secara simultan dapat: (a) mengenal lingkungan sosialnya, (b) belajar mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri serta belajar menerima kelebihan dan kekurangan orang lain (sportif), (c) belajar konsep moral secara nyata, dan (d) disiplin mematuhi aturan.

Berdasakan jenisnya, permainan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: (1) Permainan Modern, dan (2) Permainan Tradisional. Permainan modern, dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan dan daya kreativitas, namun sifatnya sangat personal; anak bermain hanya berbuat sendiri, tidak berinteraksi dan terlibat secara emosional dengan temannya. Kesendirian tersebut menyebabkan perkembangan jiwa anak kurang bisa mengerti perasaan dan tidak mampu melakukan musyawarah (kesepakatan antar anak). Akibatnya, anak akan menjadi generasi yang egois, serta enggan mengerti dan memahami kondisi lingkungan sekitarnya.

Sementara itu, permainan tradisional, merupakan bentuk kegiatan permainan ataupun olah raga yang sudah ada sejak zaman dahulu (zaman nenek moyang kita) yang kemudian diturunkan secara turun menurun sampai ke zaman kita. Nenek moyang kita dalam menciptakan permainan tersebut tidak hanya sekedar menciptakan kegiatan bermain untuk pengisi waktu luang, namun di dalam permainan tersebut juga disisipkan banyak muatan moral serta kearifan (wisdom) dalam rangka membentuk karakter atau watak anak yang akan memiliki kecerdasan sosial. Hampir sepenuhnya permainan tradisional sarat akan nilai-nilai moral dan kearifan, misalnya, seperti permainan: gobag sodor, dakon, bakiak, lompat tali, ular atau delikan, engklek, bekel dan masih banyak lagi.

Apabila kita kaji lebih lanjut, ternyata banyak nilai dalam pendidikan karakter yang terkandung dalam permainan tradisional, sehingga permainan tradisional dianggap efektif dalam mengajarkan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, misalnya seperti nilai: kejujuran dan sportivitas, kedisiplinan, kerjasama, musyawarah, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut, justru tidak didapatkan dalam permainan modern.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa Ibu merupakan first gate dalam enkulturasi nilai-nilai dalam pendidikan karakter anak. Peran keluarga, khususnya Ibu, sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak yang berbudi pekerti. Dalam proses menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan karakter pada anak, Ibu juga dapat memanfaatkan media permainan tradisional, selain sebagai metode yang dianggap cukup efektif dalam pendidikan karakter, keberadaan permainan tradisional juga perlu dilestarikan, mengingat permainan tradisional keberadaannya makin tergerus dengan permainan modern. Orang tua, khususnya Ibu, hendaknya tidak melulu mencekoki anak dengan permainan yang serba modern. Ibu juga harus mulai mengenalkan kembali permainan-permainan tradisional yang mendukung anak-anak untuk aktif bergerak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain (anak-anak yang lainnya).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun