Sebuah filosofi pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang menggema hingga saat ini adalah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Ingat, bukan Tut wuri "hanjegali" yang berarti di belakang memberi dorongan, bukan malah "menjegal" laku siswa, alias "nyrimpeti" langkah murid. " Nyrimpeti" ini bisa dimaknai menghalangi kemampuan murid sesuai "passion" mereka. Guru tidak memahami "kodrat alam dan kodrat zaman". Hal itu sangat merugikan murid.
Banyak fakta berbicara ketika sang guru dengan sikap otoriternya memaksakan kehendaknya dalam pembelajaran di kelas. Bukannya menjadikan kelas yang menyenangkan tetapi lebih mirip dengan situasi di penjara. Terkekang, takut, hingga tak tahu apa yang harus dikerjakan! Bukan lagi pembelajaran yang memerdekakan tetapi pembelajaran yang meresahkan. Bahkan, jika ada mapel dan guru yang tidak disukai, rasa malas sekolah pun melanda.Â
Nah, itulah mengapa, sejak zaman kolonial, KHD telah menggaungkan pemikiran "Menghamba kepada murid" yang berarti pembelajaran yang berpusat pada murid. Ibarat seorang pembeli yang dianggap raja, selayaknya murid, harus dianggap raja dalam setiap pembelajaran. Apa yang menjadi kebutuhan murid harus bisa diakomodasi sang guru dengan segala macam cara sesuai "passion" murid. Itulah makna menghamba kepada murid. Guru memberikan kebebasan murid buka mengekang.
Selama lebih dari 10 tahun menjadi guru, banyak pengalaman penulis yang belum sepenuhnya menerapkan merdeka belajar. Hal itulah yang membuat murid merasakan bahwa pelajaran bahasa Indonesia itu membosankan. Seperti halnya membaca koran, tak ada tantangannya. Disuruh menghapal kata-kata yang baku dan tidak baku, sulit sekali karena  harus menghapalkan antri dengan antre, beda tipis. Menulis kata baku dan tidak baku dalam bentuk tabel, lalu menghapalkannya. Bagaimana kalau murid tersebut tidak suka? Bagaimana kalau murid tersebut lebih menyukai cara lain?
Hingga saya kembali merenung, bahwa yang selama ini salah bukan muridnya tetapi terletak pada cara gurunya yang tidak kreatif, kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Sampai pada pembelajaran menemukan kata baku dan tidak baku dengan bermain "tuan rumah dan tamu". Sebuah cara belajar kelompok yang bisa mengingatkan murid tentang  kata baku dan tidak baku yang mengesankan, tidak mudah dilupakan. Permainan ini juga diapresiasi oleh para murid. Kata mereka, "Belajar seperti ini selain menyenangkan juga sangat efektif Bu, saya jadi ingat apa kesalahan saya".
Mendengar kejujuran para murid ini semakin memacu saya untuk terus berinovasi dalam pembelajaran. Harus menjauhkan metode ceramah, metode perintah, dan metode lainnya yang tak sesuai dengan kodrat mereka. Apalagi, jika hal ini terus diterapkan pada sekolah pinggiran, alias bukan sekolah favorit ya g memiliki banyak keterbatasan. Rasanya tidak adil jika para murid ini harus merasakan banyak keterbatasan, baik dari sarana prasarana maupun SDM sang guru. Bukankah setiap anak bebas mendapatkan pengajaran yang sesuai kodratnya?
Dari pemikiran  dan fakta di atas, beruntung sekali bisa menjadi salah satu Calon Guru Penggerak. Bukan ingin mendapatkan keuntungan pribadi hingga mendapatkan "Surat Izin menjadi KS" tetapi bukan itu. Salah satunya adalah memberikan keberuntungan kepada murid. " Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah murid yang beruntung dan tidak beruntung mendapatkan guru yang pintar".
Begitu agung pemikiran Ki Hadjar Dewantara, sayang sekali jika hanya menjadi jargon semata tanpa diterapkan dalam pembelajaran. Cita-cita mulia, menjadikan generasi muda menjadi sosok Pelajar Pancasila yang Berketuhanan YME dan berakhlak mulia, Berkebinekaan Global, Bergotong Royong, Kreatif, Mandiri, dan Bernalar Kritis. Bayangkan, jika Indonesia memiliki generasi muda sesuai Profil Pelajar Pancasila? Pastinya akan menjadi pemimpin yang mampu memajukan Indonesia.
Akankah kita menghamba kepada murid?
Akankah kita mampu memberikan keberuntungan kepada murid?Â
Akankah memberikan dorongan atau motivasi/Handayani, bukan hanjegali.