Kartini telah mendobrak arus dominasi dan hereditas dikotomi tugas domestikasi perempuan di masa purba.
"Karena perubahan tidak dapat dilakukan sendiri". Begitulah petikan dialog kakak Kartini dalam film Habis Gelap Terbitlah Terang.
Salah satu momentum yang selalu saya tunggu di bulan April adalah peringatan hari Kartini. Begitu banyak perempuan menunjukkan jati dirinya. Baik dengan mengenakan warna-warni baju adat, atau mengulas senyum cantik di balik aktivitas profesional mereka satu per satu.
Saya bukan termasuk esjewe feminisme. Hanya saya termasuk perempuan yang selalu tertarik pada pemikiran-pemikiran Kartini.
Andai saja Kartini dan para pahlawan pejuang kesetaraan hak perempuan dan anak-anak melihat geliat perempuan kekinian, mungkin mereka pun ikut mengurai senyum paling idealis; senyum paling mewah.Â
Ya, sebuah transisi budaya tradisional kepada era yang lebih kontemporer telah mengubah wajah kaum perempuan. Terlepas dari masih tertatihnya kepercayaan publik atas stigma sosial yang masih melekat pada perempuan.Â
Tak mampu dihindari, ketika kognisi manusia semakin hari semakin berkembang, manusia telah melewati episode demi episode dari alur evolusi budaya dan kognisi yang berjalan. Entah apakah kita tersadar ataupun tidak, saat ini kita benar-benar berada dalam masa revolusi industri besar-besaran.
Pemikiran dan karya yang tak kalah epik menerobos merasuki kesadaran bahwa entropi hanya mampu diminimalisir dengan berjalannya kehidupan.
Di masa inilah perempuan mulai merambah dunia yang pada masa terdahulu didominasi oleh pelaku-pelaku glorifikasi patriarki.Â
Perempuan tanpa ragu merobek narasi lawas tanpa harus kehilangan titik waras. Perempuan secara anggun bergerak dari area dapur, kasur, maupun pupur (bedak) menuju mimpi-mimpi yang sempat terkubur.