Aku takut untuk sekadar melihat halaman rumahmu
Bukan karena begitu menyeramkan
Tentu saja aku bohong
Tapi, kubiarkan saja kau percaya
bila: aku takut pada amarahmu
Aku memang takut
Aku tidak ingin kamu tahu
aku membunyikannya dari padamu
Seolah aku tegar menjalankan laju kapal
Kendati di balik setir kemudi aku selalu gemetar
Aku gentar melewatkan kakiku di halaman rumahmu,
Karena
berjuta harapan dan mimpiku pernah tumbuh di sana
Bermilyar mimpi yang  setiap kali lewat
kutabur benih-benihnya
:hanya bila saja kau membalas pesan singkat ku
lalu
kita berdua berada di gelanggang
gemuruh percakapan yang tak penting
Ya, itu sekian waktu yang telah berlalu
Tapi, semesta pun paham
semua hanya omong kosong belaka
Pesan singkatku kau pajang sedemikian indah
tak pernah tersentuh pun membuatmu gelisah
apakah kalimat-kalimatku terlalu bodoh untuk kau jawab?
Entahlah
Untuk itulah aku memasang tameng.
Sebuah idealisme ketakutan
yang senantiasa ingin
kulepas
kemudian aku
kembali bebas
melihatmu
mencabuti bunga kata-kataku
dari halaman rumahmu
hanya karena
begitu banyak rumput dan ilalang di sekitar bakal bunga yang
setiap hari kuperhatikan dari jauh
: tumbuh
dear,
kutulis kembali pesan singkat
di halaman rumahku sendiri:
aku masih memakai tameng ini
*Solo, 08042023 ketika kata "kapan" berjumpa dengan sebuah rhema "tunggu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H