REPERTOAR TUA
[Apologetika: Kepada Sang Guru]
Aku mencoba membujuk dinding masa. Tembok yang mengelupas, hening suara palu para empu, dan sebuah cerita lampau.
Bercampur aroma abjad-abjad tua penikam sejarah, tersadar aku tinggal di sebuah masa.
Luruh kau duduk, mencoba mengukir lajur sajak para penyair, para penyihir bahasa. Dengan lantang kau berkata-kata seperti sungai yang mengalir. Membiusku dengan drama dan epos cerita.
Tentang sebuah bayangan waktu yang lalu....
Tentang Arjuna Sang pemanah. Tentang betapa hebatnya ia di hadapan Drona sang bijaksana. Tentang hanya Arjunalah yang luhur bagimu dan bagi Dronamu. Palguna bagimu adalah litani, syair terindah yang pernah tercipta.
Sejenak desir angin menghunus silabus mimpi-mimpi dingin dalam cawan yang kau tawarkan. Aku meminumnya, Kekasihku. Cawan berisi kisah kasih kata-kata.
Kepada dinding tua terkelupas aku mengusungkan sebuah perkara. Bahwa Arjuna bukan satu-satunya jawara. Apa artinya seorang Ekalaya tercipta? Apa kau lupa, Kekasihku? Apa artinya Arjuna tanpa sang cerdas Kresna? Palgunadi? Palgunadi yang setia. Palgunadi tak cerdas yang bagiku selalu bernas. Jika saja hati Drona tak sesempit daun talas, Kekasihku.
Dan kau hanya terdiam membungkam; seolah memberikan dunia: membiarkan aku membanggakan Ekalayaku.
Lalu kita saling diam. Bergumul dengan pikiran serta igau terdalam. Menimbun rasa yang sengaja ditakdirkan semesta. Tak lama, kita berdua tertawa. Menggelar risalah kebodohan. Ironisnya, kau dan aku masih kita. Bodoh tak terencana.
Dinding tua mengelupas. Angin semarak merantai percik api dapur para empu. Menempa sebuah cerita. Asmaradahana.
*Solo, menjelang Tingalan Wiyosan Jumeneng Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara X