Aku menyalin kabar ini dari kertasmu yang kabur tertiup angin musim dingin.
Lenyap ditelan ambisi yang menggerutu ingin menuai ranum buah pohon pikatan di tengah taman. Mendesis kata- kata manis. Meminjam sebakul aksara nan puitis.
Kepada burung-burung gereja yang bertengger di punggung kabel listrik. Aku memperkatakan sabda semesta, "Sekali lagi, sekerat puisi pingsan diperkosa. Oleh niat tanpa estetika!"
Riuh begitu panik berjuta aksara berlomba, meniup pagar santunmu, Manusia.
Salinan ini kurekam dari lantun ingatan diretas senja. Senja jingga kelabakan mencari mentari siang. Senja jingga yang menelusupi naluri langit malam.
Retak rasa manusia. Apakah kau manusia, menikmati tawa, kau tolak mengisi bejana mewahmu yang kosong. Apakah kau sadar, bukan hanya  asmara si rasa yang menjura ketika aksara mulai kalang kabut menodai makna?
Kuhela nafas-nafas beraroma daun-daun tembakau yang terbakar mentari. Kulihat berkelebat. Bayang lekuk tubuh sang daun menari saat bising gelombang asing berbau jempol-jempol melukai hati. Mendapati rasa dalam serabut angka. Lalu tawa-tawa sibuk menggelora. Palsu.
Kau di situ memangku waktu sambil membisu.
Menanti sebuah kabar dari surat lawas bermaklumkan derik serangga sawah bertautan.
Namun, malang kau sungguh terkena kekang. Mulutmu meradang. Serangga sawah pun telah habis dilelang bersama urat nadi petani yang lama menghilang.
*Solo.....setir satire menempa pelupuk algoritma kata kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H