Bolehkah aku bersembunyi dalam ruangmu, sebentar?Â
Begitulah katamu pada suatu merah jingga, warna kesukaanmu menyapa hari ini. Aku tak tahu mengapa kau menghimpun tanya dalam gagapmu. Menyapa dalam senyap.Â
Sementara aku sibuk menimbun malamku tanpa jeda waktu. Hingga terkadang rembulan mulai pucat pasi menerka kapan aku undur diri. Namun, kau tetap saja rela menitip pesan di ruang hatiku yang kusam. Dari kamar yang kau bilang nyaman, padahal hanya sebuah bilik kecil bercat putih
Tanpa gambar. Tanpa foto-foto pemandangan atau senyum manis bercita rasa masa lampau. Hanya ada satu gambar besar di atas sofa panjang kesukaanmu. Gambar itu pun sekian lama rapi ku bungkus kain vintage bermotif kembang kecil.Â
"Benar-benar ruang yang lusuh. Siapa yang ingin tinggal di sini? Kecuali orang gila," bahkan suaramu yang lirih pun terdengar di telingaku.Â
"Apakah artinya kau juga ingin menjadi gila?" aku mulai dengan kalimat tanpa rasa sopanku sedikitpun. Aku hanya berharap kau segera pergi. Kala itu. Meski aku berharap kau akan tinggal di situ beberapa waktu. Ya, meski hanya beberapa waktu.Â
Aku tahu, kegilaanku memang tanpa batas. Tidak pernah ada yang mengerti apa yang ada dalam kepalaku. Selain aku. Bahkan aku sendiri tak lagi peduli apakah orang lain berpikir benar atau salah; baik atau buruk terhadapku.Â
Sama seperti hari ini, kubiarkan kau menyemai imajimu tentang aku. Tentang ruang tamuku. Tentang anggur putih yang kau tawarkan padaku. Kemarin.
Kubiarkan kau duduk bahkan terbaring di sofa panjang yang kini coba kau nikmati. Tanpa sepatah kata pun.Â
Mungkin kau tak pernah tahu, di situ pula kubiarkan setiap orang datang mengeluh, menghujat, memuji, menertawakan, bahkan pernah pula ada yang mengurai altruisnya, membawakan aku sate lilit yang menggiurkan hingga racun yang tersembunyi dalam setiap rayuan.Â